Happy Reading♡
***
“Fa, sini! Ayo foto bareng!” Ifana tertarik pasrah saat Citra menarik tangannya untuk foto bersama satu kelas. Ifana yang sedang tidak mood itu hanya berdiri dengan dua jari terangkat, sementara wajahnya datar.
Tiga kali foto diambil. Ifana yang hendak menjauh kini ditahan lagi oleh Citra.
“Aelah, bentar lagi, dong, Fa! Belom selesai ini. Napa, dah? Plis, deh. Abis kita lulus foto bareng kayak gini itu bakal susah banget, percaya sama gue.” Dan Ifana menurut, mencoba menikmati hari terakhirnya menjadi siswi SMA.
“Terakhir, ya!” aba-aba si pemegang kamera. “Eh, coba pose samaan, dong!”
“Iya iya, biar kompak!” balas Citra yang paling heboh. “Nunjuk ketua kelas, ya! Atau kalau perlu jorokin aja biar jatoh.”
“Gila Lo!” balas si ketua kelas.
Ifana tanpa sadar terkekeh melihat itu. Benar kata Citra, momen seperti ini pasti tak akan terulang kembali saat sudah lulus nanti.
Jepretan terakhir, memilih untuk pose hanya menunjuk si ketua kelas. Kelasnya yang jarang kompak ini mendadak kompak sekali.
“Woi, ntar kirim grup, ya!” teriak yang lain.
Ifana menjauhi kerumunan lagi saat beberapa temannya memilih mengecek hasil foto. Ia mengedarkan pandangan, beberapa orang tua siswa-siswi kini telah datang. Ifana mencoba mencari Meira yang berjanji datang di antara kerumunan orang.
Merasa Meira belum datang, Ifana memilih membuka ponsel. Tiba-tiba sebuah pertanyaan terlintas di kepala. Apakah Radit akan datang juga, seperti yang Meira bilang?
Ifana membuka room chat cowok itu. Memandanginya lama, padahal ia tak ada niatan mengirim chat.
Rasanya mustahil cowok itu datang untuknya mengingat hubungan keduanya yang sedang tidak baik-baik saja. Ifana menghembuskan napas panjang mengingat itu.
Suara bising di belakangnya membuat perhatian Ifana teralihkan. Tepat saat ia berbalik menoleh, seseorang tanpa sengaja menabrak bahunya keras.
“Aduh!” Ifana hampir saja limbung jatuh kalau tidak segera menyeimbangkan tubuhnya.
“Eh, sorry sorry! Lu, sih!” Seseorang yang tadi menabraknya kini malah menyenggol temannya, menyalahkan.
“Sorry. Lo nggak papa, kan?”
Ifana mengangguk singkat. “Nggak papa,” jawabnya meyakinkan. Lalu dua orang itu menjauh.
Ifana kembali menatap ponsel. Astaga!
Mata Ifana melebar. Betapa terkejutnya ia saat layar ponselnya berubah tampilan sedang menelpon seseorang. Ini pasti karena tidak sengaja ia menyentuh telepon saat ditabrak tadi.
Namun sialnya, kenapa orang itu harus Radit. Ifana memejamkan mata merutuki diri mengingat tadi ponselnya masih di room chat Radit.
Jantung Ifana berdegup kencang. Dengan gugup cepat-cepat ia mematikan sambungan sebelum cowok itu menyadari dan mengangkat telponnya.
“Halo?”
Ifana meneguk ludah gugup. Baru saja tangannya bergerak ingin memutus sambungan, tapi suara Radit lebih dulu terdengar yang artinya cowok itu mengangkat teleponnya.
“Halo?”
Untuk kedua kalinya, suara Radit terdengar. Sepertinya cowok itu bingung kenapa ia tak kunjung bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Destiny
Fiksi Remaja"Kak Tio nanti nikahnya sama Ifa, ya. Biar nanti dapat uang jajan terus dari Kak Tio!" "Kak Tio, Ifa udah mau lulus, nih. Besok kalau Ifa udah wisuda, kita nikah yaa!" "Kak Tio, Kak Tio. Sayang Ifa nggak?" *** Raditio Erlangga benci dengan tingkah m...