Happy Reading
***
“Kok baru pulang? Ada latihan basket?” mama Radit langsung melayangkan pertanyaan begitu Radit membuka pintu rumah dan mengucap salam.
“Kelas dua belas udah nggak ikut ekskul, Ma.”
“Oh iya, lupa.” Mama Radit menggeser piring berisi potongan kue yang sengaja ia buat, membuat Radit mencomot satu dan memakannya. “Terus kenapa baru pulang?”
“Ada urusan anak cowok bentar, hehe.”
Sang mama menatap datar anaknya. “Jadi mama nggak boleh tau, nih?”
“Mama cowok apa cewek dulu, nih?”
“Ceweklah.”
“Jadi nggak boleh.”
Mama Radit langsung menahan potongan kue yang akan masuk ke mulut Radit. “Jangan makan kue Mama kalau gitu, muntahin! Cepet, muntahin nggak!”
Radit terbatuk akibat mamanya menepuk-nepuk punggungnya, seolah memaksa agar kue yang sudah ia telan itu dimuntahkan lagi. “Uhuk--Ma--uhuk! Astaga, jahat banget--uhuk! Radit sampai batuk-batuk.”
“Durhaka itu namanya!”
Radit meneguk air putih, lalu nyengir lebar menatap mamanya yang langsung mendengkus.
“Mandi dulu sana, udah sore.”
Bukannya menurut, Radit malah menyenderkan punggung pada sandaran sofa dan membuka ponselnya. Cowok itu mulai fokus pada ponsel, membalas chat yang masuk. Sesekali tangannya mengambil kue buatan mamanya. Melihat itu, Meira mama Radit hanya menghela napas panjang, tak ingin menegurnya untuk kedua kali.
“Meira.” Suara Indri yang memanggil mama Radit membuat wanita paruh baya itu menoleh, tak lagi fokus pada televisi.
“Eh, ada apa, Ndri?”
“Ifana ada di sini nggak?”
“Hm? Nggak, kok. Nggak ada.”
Wajah Indri berubah panik, wanita itu terlihat mengusap wajahnya frustasi. “Aku tadi pergi karena ada urusan bentar. Jadi nggak sempat jemput dia padahal beberapa jam yang lalu jejaknya dia nelpon aku berkali-kali. Sementara tadi aku telpon balik nggak diangkat.”
Gerakan jari Radit yang menyentuh keyboard ponsel kini sontak terhenti. Otaknya tiba-tiba kilas balik sebelum ia dan Erika bertemu. Benar, Ifana. Radit ada janji akan menjemput gadis itu, tapi dia mengingkarinya.
Tangan Radit langsung bergerak menelpon ke nomor Ifana, tapi seperti yang Indri bilang telponnya tak diangkat.
“Biar Radit yang cari, Tante.” Radit bangkit tergesa-gesa mengambil kunci motornya dan berlari keluar rumah. Radit mengacak rambutnya frustasi saat sadar kunci motornya ada di tangan sedari tadi. Astaga, dia sepanik ini sampai mendadak blank.
“Hati-hati, jangan ngebut!” Meira berteriak yang tak diindahkan Radit karena cowok itu telah naik motor.
Namun, belum juga ia melanjutkan motornya, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan rumah Ifana.
✧✧✧
“Rumah kamu yang sebelah mana?”
Ifana duduk di kursi mobil belakang samping Rangga, sementara mama cowok itu menyetir di depan bertanya padanya.
“Yang gerbang warna hitam itu, Tante.”
“Yang ini, kan?” Mobil berhenti tepat di depan rumah Ifana, sementara mama Rangga bertanya sekedar memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Destiny
أدب المراهقين"Kak Tio nanti nikahnya sama Ifa, ya. Biar nanti dapat uang jajan terus dari Kak Tio!" "Kak Tio, Ifa udah mau lulus, nih. Besok kalau Ifa udah wisuda, kita nikah yaa!" "Kak Tio, Kak Tio. Sayang Ifa nggak?" *** Raditio Erlangga benci dengan tingkah m...