✧TigaPuluhEnam✧

80.7K 5.9K 275
                                    

Hallo, akhirnya bisa nyapa kalian lagi♡♡
Tandai kalau ada kesalahan atau typo


Happy Reading♡


***


“Lo beneran mau nikah sama gue?”

Tolong sadarkan Radit untuk tidak mengungkit pertanyaan yang menyangkut rencana pernikahan mereka. Sebab begitu Radit bertanya demikian, suasana kembali hening. Keduanya kembali diam, tapi Radit juga butuh penjelasan agar semuanya jelas dari Ifana.

Sayangnya, diamnya Ifana membuat Radit menghela napas panjang. Radit memandang Ifana yang menatap lurus datar.

“Soalnya gue nggak mau nikah kalau Lo terpaksa, Fa.” Radit berujar lagi.

Dengkusan samar terdengar. Ifana memejamkan mata sesaat lalu membalas tatapan Radit. “Ifa nggak terpaksa, Kak,” jawabnya lelah.

Radit mengangkat alisnya, tak sepenuhnya percaya. “Beneran?”

“Iya.” Ifana menjawab dengan nada lelah.

“Mana buktinya?”

Astaga! “Bukti apa?”

“Bukti kalau Lo nggak terpaksalah.”

Ifana tak tahu cara pikir Radit itu bagaimana. “Gimana cara ngebuktiinnya?”

“Ya serah Lo, pinter cari akal, dong.” Setelah berujar demikian, Radit melangkah lebih dulu masuk rumah makan meninggalkan Ifana yang tercengang.

Namun, detik berikutnya Radit berbalik lagi menghampiri Ifana. Cowok itu melepas Hoodie hitamnya menyisakan kaos dengan warna yang sama.

Ifana terkejut saat cowok itu tanpa kata memakaikan hoodienya pada Ifana, bermaksud agar seragam Ifana tak terlihat. Dengan cepat Ifana menahan. “Biar Ifa sendiri.”

“Bagus, anak pinter.” Radit menepuk puncak kepala Ifana dua kali layaknya seorang ayah pada anaknya. Lalu pergi begitu saja.

Ifana melongo menatap Radit dari belakang. Demi apa, Ifana ingin sekali menimpuk kepala cowok itu.

Tak mau tertinggal, Ifana berlari kecil menghampiri Radit yang sudah duduk di salah satu kursi setelah memesan makanan bahkan tanpa menunggunya.

Ifana melirik Radit yang diam memainkan ponsel. Sepertinya cowok itu memainkan game, terlihat dengan ibu jarinya yang bergerak cepat di atas layar dan ponsel yang dimiringkan.

“Sakit, ya. Dicuekin gini.” Ifana ikut merogoh ponsel, sementara mulutnya mengeluarkan sindiran.

“Bentar, bentar. Mau menang.”

Ifana mencibir mengikuti gaya bicara Radit dengan melebih-lebihkan. Berikutnya karena merasa Radit masih asik sendiri, Ifana dengan sengaja menyenderkan kepalanya di bahu cowok itu.

Radit agak terkaget, tapi tetap fokus pada ponselnya. Kali ini membiarkan Ifana bersender padanya.

“Ck, Fa. Bentar, dong.” Radit berdecak samar kala Ifana tak mau mengalah dan malah menggenggam tangannya paksa, alhasil satu tangannya terlepas dari ponsel. Kalah sudah gamenya. Walau Radit sukses menepis tangan Ifana, membuat cewek itu merengut menahan kesal.

“Aku pulang, nih, ya.”

“Apaan, sih. Kumat, deh, manjanya. Biasanya juga manja nggak gini-gini amat.”

Ifana mencebik, ia menjauhkan diri dari Radit walau matanya masih melirik cowok itu.

“Kak Tio,” panggil Ifana pelan sembari menjatuhkan kepala di atas meja dan menatap Radit lekat meskipun cowok itu tidak balik menatapnya.

Line of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang