Happy Reading♡
***
“Rafa!” Dengan jantung bertalu-talu Radit berlari, menggendong Rafa menjauh sebelum hal tak diinginkan terjadi.
Suara klakson motor berbunyi, tepat saat Radit berhasil membawa Rafa ke tepi jalanan. Walau begitu, detak jantungnya berdetak keras belum juga mereda. Pengendara motor yang hampir saja menabrak Rafa tadi kini berlalu setelah menoleh ke belakang, tapi menyaksikan Rafa baik-baik saja.
Tubuh Radit rasanya melemas. Astaga, kejadian tadi membuat seluruh sarafnya melemah.
“Ya Allah, Rafa.” Radit mendekap Rafa yang tampak terkejut belum bisa mencerna situasi. Di dekapan sang ayah dia hanya berdiri kaku.
Lalu datang sosok Ifana dari dalam rumah bersama dengan Yogi. Tampaknya Ifana mendengar teriakan Radit memanggil nama Rafa tadi. Namun, matanya disuguhkan adegan keduanya berpelukan, ia masih belum tahu apa yang baru saja terjadi.
“Sayang, kenapa?” tanya Ifana pada Radit.
Radit tak mendengar pertanyaan Ifana. Ia masih belum melepas dekapannya. “Rafa. Rafa tau Daddy sayang Rafa, kan? Rafa tau Daddy sama Mommy bakal sedih kalau aja tadi Daddy telat gendong kamu. Rafa ngapain tadi di tengah jalan sendirian gitu?”
Rafa terperangah menatap Radit yang melepas dekapannya, tapi beralih menangkup pipinya yang tampak berisi.
“Yogi udah balik sendirian tadi. Rafa kenapa masih di tengah jalan kayak tadi? Bahaya, Sayang. Daddy nangis kalau Mommy di rumah sakit, begitu juga dengan Rafa kalau di rumah sakit Daddy bakal nangis juga.”
“Rafa nggak sayang sama Daddy, it's okay. Tapi Rafa pasti sayang sama Mommy, kan? Rafa pernah lihat Mommy nangis, kan, pasti? Gimana rasanya? Sakit, kan? Nggak mau lagi lihat Mommy nangis, kan? Tapi kalau Rafa kayak tadi, kalau aja Daddy telat gendong kamu, Mommy bakal nangis, Sayang. Pasti.”
Rafa mengedipkan mata, anak itu sepertinya hilang kata melihat mata khawatir sang ayah. Lalu sedetik kemudian ia merunduk dalam.
“Maaf, Daddy. Tapi, kenapa Daddy bilang Rafa ndak sayang sama Daddy? Rafa sayang sama Daddy, kok,” lirihnya.
Tangan Radit mengelus lembut pipi gembul Rafa sebelum anak itu melanjutkan, “Tadi, Rafa lihat ada kucing. Bukan kucing garong, tapi kucing lucu. Dia lari ke tengah jalan, Rafa ikutin. Tapi kucingnya malah lari ndak tau ke mana saat Rafa ikutin.”
Tangan Radit beralih mengusap rambut Rafa. “Rafa mau kucing? Daddy bisa beliin, mau apapun Daddy bisa beli buat Rafa.”
Semua itu tak luput dari pandangan Ifana yang diam-diam menarik senyum tipis. Momen langka di mana anak-ayah itu tampak akrab bahkan berbicara manis seperti itu. Ifana mengangkat ponsel, bersiap memotret diam-diam.
Rafa mengangguk pelan. “Mau kucing, Daddy. Yang kayak tadi, warnanya putih, bulunya lebat.”
“Iya, nanti Daddy beli buat Rafa, Rafa sendiri yang pilih. Mau apalagi, Sayang? Tapi janji yang kayak tadi main di tengah jalan, nggak boleh diulangi, ya?”
“Siap, Daddy!” Rafa memberikan gerakan hormat dengan senyum lebar.
Radit memberikan jempol. “Sip!”
“Peluk dulu, dong!” Radit merentangkan tangan, Rafa langsung menubruk memeluk sang ayah dengan tangan mungilnya.
“Rafa tau Daddy sayang Rafa, kan?”
“Yes, Daddy. I know. I dear you too, Daddy.”
Radit tersenyum mendengar jawaban itu.
“Pelukannya berdua doang, nih? Mommy nggak diajak?”
Sontak, pelukan keduanya merenggang dan sama-sama menoleh kompak pada Ifana yang seakan merusak momen keduanya itu.
Radit mengerling ke arah Rafa seolah meminta pendapat. “Emmm ... diajak nggak, ya?”
Rafa tersenyum lebar hingga matanya menyipit, lalu bersorak, “Sini, Mommy!”
Ifana bergerak maju jongkok, ikut merentangkan tangan. Kini ketiganya malah berpelukan di tepi jalan depan rumah.
“Eh, lupa. Masih ada Yogi, lho, di sini.” Ifana menyeletuk dan menggerakkan tangannya memberi kode agar Yogi juga mendekat. “Yogi sini, Sayang.”
Yogi yang masih lugu itu hanya mendekat, lalu terkejut saat mereka bertiga kompak memeluknya dengan posisi dialah yang berada di tengah-tengah.
“A--adu--h! Yogi ndak bi--sa napas.”
Ketiganya kompak terbahak dan melepas pelukan. Rafa paling keras tertawanya, seakan puas melihat Yogi menarik napas banyak-banyak. “Yaaah, Yogi payah. Masa gitu doang ndak bisa napas,” ledeknya dan Yogi hanya diam tak membalas.
Ifana meringis mendengar ledekan itu, khas Radit sekali. Sementara Radit malah ikut tertawa, tak menegur Rafa sama sekali.
“Rafa, kapan-kapan mau ke Jakarta, nggak?”
Rafa menoleh cepat. “Jakarta? Jakarta apa?”
“Jakarta, tuh, kota. Tempat Daddy sama Mommy dulu kalau tinggal.”
Rafa diam sejenak, lalu mengangguk semangat. “Mau, Rafa mau ikut!”
“Oke siap, nanti bilang sama Oma Opa dulu, ya.”
“Siap, Daddy!”
“Anak pinter!” Radit mengacak puncak kepala Rafa gemas. “Mau beli kucingnya sekarang?”
“Boleh!” Rafa mengangguk antusias lalu menoleh pada Yogi. “Yogi mau ikut Rafa beli kucing ndak?”
Yogi menggeleng. “Mau pulang, mau bobo,” ujarnya lalu melenggang pergi ke rumah sebelah membuat Rafa menghela napas kecewa.
“Nggak papa, Sayang. Beli kucingnya sama Daddy sama Mommy, okay?”
Ekspresi Rafa berubah semangat lagi. “Okay!“
Radit bangkit dari jongkoknya, menarik tangan Rafa menuntunnya. “Ayo pamit sama Oma Opa dulu, sekalian ijin kapan-kapan mau liburan ke Jakarta. Kali aja Oma Opa juga mau ikut.”
“Oma Opa!” Rafa berteriak padahal baru masuk pintu. “Rafa mau pulang, mau beli kucing!” serunya.
“Kok cepet pulangnya? Rafa nggak mau bobo di sini nemenin Oma Opa? Kita kesepian kalau kamu pulang.”
Rafa duduk di pangkuan Meira. “Hari ini Rafa pulang dulu, Oma. Mau beli kucing lucu juga. Kata Daddy, nanti kapan-kapan kalau Oma sama Opa mau ikut ke Jakarta, kita ke sana sama-sama.”
“Ke Jakarta?” Meira menatap Radit dan Ifana yang mengangguk membenarkan.
Rafa mengangguk cepat. “Iya, Oma. Nanti Oma Opa ikut, ya? Biar nggak kesepian lagi kalau Rafa pulang.”
“Oke, nanti kita ikut. Aduh, pinter banget cucu siapa ini.” Meira mengusap kepala Rafa gemas. “Cium Oma dulu, dong!”
Rafa mencium kedua pipi Meira, lalu tanpa diminta ia pun turun dari pangkuan Meira dan mendekat ke Hendry, juga mencium pipi keduanya.
“Rafa pulang dulu, ya. Papaaay!”
TBC
Aku dah bilang di part sebelumnya, kan? Ini ringan-ringan aja gais^_^
Cuma pengen kasih dikit momen Radit-Rafa. Kalau ternyata selain berantem dan rebutan Ifana, mereka itu saling sayang, tapi kalian malah mikir jauh huhuhu😭Kenapa di part sebelumnya pada nawar minta extra part lagi, huft:((
Ngga tau ini masih ada lagi next extra part-nya atau ngga, mungkin ntar kalau kangen mereka aku balik sini lagi buat update extra part-nya, ngga lama kok. Kalaupun lama mungkin aku yang lupa, jadi mohon diingatkan huhu:(
Sekian, papaay! Jangan lupa jejaknya
KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Destiny
Teen Fiction"Kak Tio nanti nikahnya sama Ifa, ya. Biar nanti dapat uang jajan terus dari Kak Tio!" "Kak Tio, Ifa udah mau lulus, nih. Besok kalau Ifa udah wisuda, kita nikah yaa!" "Kak Tio, Kak Tio. Sayang Ifa nggak?" *** Raditio Erlangga benci dengan tingkah m...