Happy Reading guys♡
***
Sudah dua hari berlalu, dan Meira tak main-main dengan ancamannya. Radit benar-benar tak dibolehkan bertemu dengan Ifana, sementara katanya hari ini papanya akan sampai di Bandung.
Radit mengacak rambutnya keluar dari kamar. Dilihatnya Meira yang tampak sibuk di dapur membuat makan siang. Dari pandangan Radit, mood mamanya itu tampak sangat bagus sampai-sampai mamanya tak melunturkan senyum dari tadi.
Radit menarik kursi meja makan. “Seneng banget yang suaminya mau pulang,” ujar cowok itu.
Meira melirik sinis. “Seneng, dong. Emang situ, yang dua hari nggak ketemu sama yang katanya calon istri.”
Radit menghembuskan napas berat. “Ya karena siapa, sih, Radit nggak ketemu calon istrinya.”
“Itu, mah, hukuman! Rasain, emang enak.”
Lama-lama mamanya ini sebelas-duabelas dengan Geo yang selalu melemparkan ejekan dan godaan yang terdengar menjengkelkan di telinganya.
Meira meletakkan piring berisi hasil masakannya di meja makan, wanita paruh baya itu menatap Radit dengan tatapan serius. Radit sampai merinding dibuatnya. “Ke--kenapa, Ma?”
“Mama mau tanya, serius.” Meira menarik kursi di hadapan Radit. Ekspresi wajahnya tak main-main. “Kamu beneran suka sama Ifana?”
Radit diam beberapa detik. “Mama kenapa tanya sesuatu yang Mama udah tau jawabannya.” Alih-alih menjawab, Radit malah berkata demikian.
Mata Meira memejam sesaat. “Radit, jangan jadiin alasan ini biar mereka mau balik ke Jakarta. Kamu pikirkan baik-baik, ada cara lain pastinya selain mengorbankan perasaan kamu apalagi rumah tangga kamu nantinya.”
“Mama tenang aja, Radit udah cukup dewasa buat nggak mempermainkan yang namanya pernikahan.”
“Jadi kamu beneran suka sama Ifana?”
Radit diam lagi, cowok itu malah sibuk mencomoti lauk pauk buatan mamanya. Bahkan Meira sampai memukul tangan anaknya, bermaksud menegur.
Meski tahu Meira tak lagi menunggu jawabannya, Radit kini mendongak menatap punggung sang mama yang kembali memasak.
“Iya, Radit suka sama Ifana.”
Lalu tepat setelah itu, suara pintu diketuk.
✧✧✧
Radit menatap mama dan papanya yang berjongkok di hadapan sebuah makam yang sering ia kunjungi itu. Kedua orangtuanya itu sama-sama menunduk khusyuk berdoa, walau dari sini Radit dapat melihat punggung mamanya yang bergetar dan tangan papanya yang mengusap punggung sang mama seakan menenangkan.
Kali ini mata Radit bergerak, menatap sosok gadis yang juga merunduk di sampingnya. Dia Ifana, berdiri di sampingnya setelah dua hari tidak bertemu. Merekalah yang mengantarkan mama dan papa Radit ke makam papa Ifana siang itu, setelah pagi tadi papa Radit tiba di Bandung.
Merasa ditatap, Ifana mendongak membalas tatapan Radit. Sontak, cowok itu mengalihkan pandangan merasa ketahuan menatapnya diam-diam. Radit merutuk dalam hati, Sial kenapa jadi canggung!
Tadi Ifana dikejutkan dengan kedatangan mama dan papa Radit yang tiba-tiba datang ke rumahnya.
Tak diduga olehnya, perkataan Radit dua hari lalu benar-benar tak main-main. Cowok itu serius dengan ucapannya. Ifana masih tidak percaya, terlalu sulit dipercaya oleh akalnya jika Radit benar-benar akan menikahinya?
Ini gila. Bahkan tak pernah terbersit di pikirannya Radit akan menjadi pendamping hidupnya---Jikalau cowok itu benar-benar serius.
“Mikir apa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Destiny
Novela Juvenil"Kak Tio nanti nikahnya sama Ifa, ya. Biar nanti dapat uang jajan terus dari Kak Tio!" "Kak Tio, Ifa udah mau lulus, nih. Besok kalau Ifa udah wisuda, kita nikah yaa!" "Kak Tio, Kak Tio. Sayang Ifa nggak?" *** Raditio Erlangga benci dengan tingkah m...