✧TigaPuluhDelapan✧

71.6K 5.2K 182
                                    

Kangen nggaaa??

Tandain kalau ada typo atau kata yang ngga enak dibaca, oke??

Happy Reading♡


***



Suara isak samar itu terdengar pilu di koridor salah satu rumah sakit kawasan kota. Nampak seorang wanita paruh baya terduduk lemas dengan kepala menunduk, tangannya yang bergetar itu saling bertaut, sementara bajunya sedikit basah akibat hujan di luar saat ia buru-buru ke rumah sakit.

“Kak Tio!”

Wanita tersebut menoleh saat tak sengaja mendengar teriakan yang berasal dari ruangan sebelah. Walau sedetik kemudian ia mengabaikan saat seorang dokter datang. Wanita itu refleks berdiri, mencoba mengabaikan sosok gadis tadi yang kini sudah tak terlihat pandangannya.

Sementara gadis tadi, tak menyadari keberadaan wanita tersebut. Ia masuk ke ruangan Radit berada.

“Kak Tio!” Ifana menghambur ke pelukan Radit yang terkejut, tapi kemudian terkekeh dan membalas pelukan Ifana kala menyadari cewek itu mengkhawatirkannya.

“Mama ke mana?”

“Tadi ke administrasi dulu.” Ifana mendongak menatap wajah Radit. “Kak Tio baik-baik aja?” tanyanya tanpa melepas pelukan.

“Nggak, sih. Gue nggak baik-baik aja, butuh pelukan dan kasih sayang.” Di saat-saat seperti inipun, Radit masih bisa becanda.

“Tapi ini, kan, udah dipeluk.”

“Oh iya.” Radit agak merubah posisi berbaring ya menjadi setengah duduk dan bersandar pada bantal rumah sakit.

Kepala cowok itu diperban, katanya mengeluarkan banyak darah yang untungnya tidak berakibat pada hal-hal yang berbahaya. Meski memang terasa sangat pusing. Selain kepala dan lengannya yang luka, ujung pipi cowok itu juga terdapat luka gores akibat pecahan kaca mobil.

“Ifa serius tau! Sakit banget, ya, kepalanya?”

“Sakit, sih.” Radit menjawab sembari agak meringis.

Jawaban Radit membuat Ifana semakin menyendukan kelopak matanya menatap Radit. Tentu saja sakit, ia pun kalau di posisi cowok itu sudah pasti akan mengeluh karena rasa sakitnya.

“Eh? Dikit doang, anjir! Lo napa nangis?” Radit agak panik saat melihat mata Ifana yang berkaca-kaca. Tolong, ini dia yang sakit kenapa cewek itu yang nangis? Dasar cengeng, ledek Radit dalam hati sembari terkekeh geli.

Radit menarik lembut tangan Ifana, hingga cewek itu menabrak dadanya kembali memeluk.

“Gue nggak papa.”

“Ini karena Ifa bukan, sih? Kalau Kak Tio nggak repot-repot nganterin Ifa saat itu, nggak bakal gini kejadiannya.”

Mencoba melepaskan diri dari Radit, Ifana mengurai pelukannya. Ia mengusap hidungnya yang memerah, menahan isakannya agar tidak lolos. Tak mau jadi bahan tertawaan Radit karena ia kelewat cengeng.

“Kenapa ngomong gitu coba? Bikin kesel aja,” ujar Radit. Tatapan matanya menuju ke arah lain. Ia tak bohong, memang menyebalkan saat ada orang lain menyalahkan diri atas terlukanya ia.

Sementara Ifana masih berusaha menenangkan diri di saat tenggorokannya tercekat, menahan sesak yang menyeruak. Ketahuilah, melihat seseorang yang kita sayang terluka itu sangat menyesalkan, apalagi orang itu terluka karena kita. Seperti itulah yang Ifana rasakan.

Kalau saja Radit tak mengantarkannya saat itu, tidak akan seperti ini pastinya. Kalau saja ia tak merepotkan, tak akan seperti ini kejadiannya. Kalau saja ... kata itu terus berputar di kepala Ifana, membuat air matanya kembali menggenang.

Line of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang