Kangen nggaa??
Happy Reading♡
***
Radit mengedarkan pandangan, menatap tembok putih rumah sakit di sekitarnya tersebut. Helaan napas panjang keluar, setelah pengalamannya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit, rasanya sangat menyebalkan menginjakkan kaki di rumah sakit lagi. Sebab itu artinya, musibah kecil datang lagi.
"Udah agak sore. Dari pulang sekolah Lo belum makan, kan? Cuma makan es krim doang tadi, ayo cari makan dulu sama gue."
Ifana yang semula menundukkan kepala, kini mendongak membalas tatapan Radit. Sejenak cowok itu tampak tersentak melihat matanya yang berkaca-kaca, lalu tangan Radit terangkat mengusap mata dan pipinya.
"Cari makan dulu, oke? Nangis juga butuh tenaga, ayo!" Radit menarik pelan tangan Ifana.
Namun, tak kunjung berdiri membuat Radit menoleh kembali. "Lo nggak laper?" tanyanya.
"Nanti ... kalau Ifa pergi makan, Mama gimana?" Ifana menyeka air matanya yang ingin jatuh pagi. "Mana mungkin Ifa enak-enakan makan sementara mama belum makan dari tadi. Terus ... nanti kalau Mama bangun Ifa nggak ada di sini, dong? Mama sendirian?"
"Hei, Lo lupa? Mama bentar lagi datang." Untuk kedua kalinya, Radit mengusap pipi basah Ifana.
Radit menghela napas panjang, ia kembali duduk. "Ya udah, tunggu mama datang, ya. Terus kita cari makan, oke?"
Radit dapat tersenyum lega saat mendapat anggukan lemah dari Ifana.
"Lihat, tuh! Mochi Lo udah meleleh, pasti udah nggak dingin lagi. Namanya bukan es krim, dong, jadinya?" Radit mencairkan suasana, berharap Ifana meresponnya dengan candaan pula seperti beberapa jam yang lalu.
Namun, diamnya Ifana membuat Radit menghentikan niatnya. Cowok itu menarik Ifana, dan mendekapnya penuh kehangatan.
"It's okay, nangis aja. Nggak perlu nunduk, nggak ada yang lihat Lo nangis kalau gue peluk gini." Radit menepuk punggung Ifana menenangkan. Lalu perlahan ia merasakan bahu yang didekapnya itu bergetar, Ifana terisak dalam diam.
"Nangis manusiawi, kok," lanjut Radit.
"K--Kak Tio ...."
"Iya?"
"Laper ...," lirihnya. Sejenak Radit terkekeh samar mendengar rengekan itu.
"Laper, kan? Dibilangin, nangis juga butuh tenaga." Radit kini beralih menggenggam tangan Ifana, sementara tangan kirinya menghapus air mata cewek itu. "Mau cari makan sekarang? Atau nunggu Mama datang?"
Ifana agak merunduk memperbaiki letak rambutnya yang berantakan. "Mau Kak Tio aja yang cari makan, Ifa tunggu sini."
Radit hanya mampu menghela napas panjang, tapi tak urung ia juga mengangguk. "Mau makan apa?" tanyanya.
"Apa aja Ifa mau. Sedapetnya aja. Tapi, kok, lagi pengen masakannya Kak Tio, ya?"
"Kapan-kapan. Ya kali gue masak di rumah sakit." Radit bangkit dari duduknya dan mengambil ponselnya. "Tunggu sini, ya. Jangan ke mana-mana, mama bentar lagi pasti datang."
Ifana mengangguk paham. Tatapannya terus tertuju pada punggung Radit yang kini perlahan menghilang dari pandangannya.
Tak lama, suara pintu dibuka mengalihkan atensinya. Ifana menoleh sampai refleks berdiri, sosok dokter dan suster keluar dari ruangan membuat Ifana menegakkan punggung.
Apalagi saat doktet tersebut berujar. "Dengan keluarga pasien?"
Di waktu yang sama, Radit berada di sebuah kantin rumah sakit, yang ternyata jaraknya lumayan jauh dari ruangan Indri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Destiny
Ficção Adolescente"Kak Tio nanti nikahnya sama Ifa, ya. Biar nanti dapat uang jajan terus dari Kak Tio!" "Kak Tio, Ifa udah mau lulus, nih. Besok kalau Ifa udah wisuda, kita nikah yaa!" "Kak Tio, Kak Tio. Sayang Ifa nggak?" *** Raditio Erlangga benci dengan tingkah m...