✧EmpatPuluhTiga✧

62.3K 4.6K 88
                                    

Happy Reading♡




***

“Besok masih sekolah?”

Ifana yang sibuk mengunci pintu rumah itu berbalik sekilas dan mengangguk. “Iya, berangkat bentar terus pulang mungkin, latihan itu---wisuda perpisahan, sama adek kelas juga. Nggak tau pokoknya ngurus yang kayak gitulah.”

Selesai mengunci pintu rumah, Ifana berbalik melangkah mendekati Radit. Kini keduanya akan pergi ke rumah sakit.

“Lo nggak ada niatan kuliah?”

Ifana diam sejenak, lalu membalas tatapan Radit. “Emang boleh?”

“Kalau Lo mau ya nggak papa. Gue nggak bakal larang.”

“Nggak, deh.” Ifana menggeleng setelah beberapa saat diam nampak berpikir. “Ntar sibuk, nggak ada waktu. Soalnya kata Mama, kalau udah nikah itu suami nomor satu.”

Ucapan dengan nada kelewat serius itu, sukses membuat Radit tergelak. Lucu, satu kata terlintas di kepalanya saat Ifana berkata demikian.

Ifana merengut sebal. Ia berkata serius tapi malah ditertawakan. “Kenapa ketawa, sih?” dumelnya.

Keduanya melangkah kini sampai di mobul. Radit dengan sengaja membukakan pintu mobil untuk Ifana, walau sebelumnya tak pernah begini. Hanya ... ingin saja, sebagai respon cewek itu menatapnya heran.

“Nggak, lucu aja,” jawab Radit.

“Apanya yang lucu, Ifa serius tau!” Lagi, cewek itu mencebik sebal.

Radit meredakan tawanya. “Nggak ada, cuma pengen ketawa aja.”

“Apa, sih. Kak Tio gaje.”

Radit menanggapi dengan kekehan geli. “Eh, kalau mampir ke kafe dulu nggak papa, kan? Gue mau ketemu Dani bentar, ada urusan.”

Ifana mengangguk tanpa bicara. Ia kini menatap ke arah kaca mobil, menikmati perjalanan seolah tak ada yang lebih indah dibandingkan dengan itu.

“Kak Tio.” Namun tiba-tiba cewek itu memanggil dan menoleh.

“Hm?” Sementara Radit menjawab meski fokus menyetir.

“Kalau misal ... Ifa pengen kerja di kafenya Kak Tio gimana?”

Lampu merah dan mobil tentu saja melambat sebelum kemudian berhenti menunggu lampu berganti. Ifana merutuki itu, kenapa harus tepat saat lampu merah.

“Maksud Lo?” Radit menatap ke arah Ifana, tak ada gurat canda di sana seperti beberapa menit yang lalu cowok itu masih tertawa.

Ifana meneguk ludah gugup. “Ifa---cuma ... pengen kerja, dapet uang. Itu nyenengin, kan?”

Tak ada jawaban, Ifana menunduk takut dengan kedua tangannya yang saling bertautan.

“Lo bohong.”

Ifana tersentak, refleks mendongak membalas tatapan Radit. Semudah itukah cowok itu menebaknya?

“Jujur sama gue, Lo butuh sesuatu?

“Nggak.” Ifana menggeleng cepat.

“Terus kenapa mau kerja lagi? Lo pasti butuh uang, buat apa? Jujur sama gue atau gue marah sama lo.”

Suasana mendadak serius. Ifana berkali-kali melirik lampu merah yang masih belum berganti, ia mendecak samar. Berhadapan dengan Radit yang seperti ini sangat menakutkan baginya.

“Jawab.” Tak ada bentakan dalam kalimatnya, tapi sukses membuat Ifana menunduk lagi.

“Cu--cuma ... mau nabung, Kak. Celengan ayam Ifa ... nganggur di rumah.”

Line of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang