Happy Reading♡
***
“Radit, Mama bawa makanan!”
Meira membuka pintu, mengangkat plastik hitam yang digoyang-goyang seolah memperlihatkan pada Radit. Namun, Meira dibuat heran dengan tingkah anaknya itu.
“Kamu ... ngapain?” Meira mengernyit saat Radit berdiri di depan tembok layaknya orang bodoh.
“Eh?” Radit meringis sembari menggaruk tengkuknya. “Temboknya bagus, Ma. Hehe.” Tangan Radit menepuk-nepuk tembok di depannya.
Meira semakin menghujam tatapan curiga pada Radit.
“Itu--anu, nanti di rumah ganti cat yang warnanya gini, Ma. Lebih bagus, hehe.” Radit meringis.
“Di rumah, kan, warnanya udah kayak gini temboknya.”
“Eh? Emang iya, ya?”
Meira menyipitkan mata, telunjuknya terangkat mengarah pada Radit. “Kalau mendadak bego gini, pasti kamu lagi panik. Kenapa?”
Radit meringis lebar. “Nggak, kok.”
Walau masih penasaran dan ingin menginterogasi Radit, tapi Meira memilih menyiapkan makanan. Ia menggapai sandal jepit di bawah. Namun, sesuatu menarik di matanya.
“Sepatu siapa ini?”
Mata Radit melotot. Jantungnya berdegup kencang, kali ini berbeda sensasi dengan degup kencang yang tadi.
Meira mengangkat sebelah sepatu putih bersih itu. “Ini kayak sepatu ... cewek? Dan lagi, ukurannya terlalu kecil buat kaki kamu. Jadi nggak mungkin ini punya kamu. Punya siapa?”
Radit mengerjap, otaknya berputar mencari jawaban yang tepat yang setidaknya tidak membuat mamanya curiga.
“Ah, ini ... punya temen Radit. Adeknya temen Radit, hehe. Tadi temen Radit ke sini, sama adeknya. Ketinggalan gituuu.”
Melihat mamanya yang menatapnya seakan tak percaya, Radit mengangguk meyakinkan. “Beneran, Ma.”
“Kapan temen kamu datang? Perasaan tadi Mama pergi belum ada, deh.”
Radit memejamkan mata merutuki diri. “Baru! Iya, baru aja. Pas mama pergi, ini baru aja pulang. Emangnya nggak papasan di koridor?”
Sepertinya kali ini Meira setengah percaya. Apalagi wanita paruh baya itu memilih melangkah menuju dapur membuat Radit menghela napas lega.
Radit menarik tangan Ifana yang sedari tadi sembunyi dibalik pintu. Untung saja Meira membiarkan pintu terbuka, kalau saja ditutup Ifana pasti ketahuan. Tempatnya bersembunyi memang berpotensi ketahuan, tapi karena panik membuatnya mau tak mau harus mau.
“Ayo, Lo harus pulang.” Radit menarik tangan Ifana keluar apartemen.
“Tapi ... Ifa belom pengen pulang.”
Radit berbalik menatap Ifana, dipegangnya bahu cewek itu. Garis wajahnya melembut supaya Ifana menuruti ucapannya. “Pulang, ya. Janji besok mau jalan-jalan? Besok libur sekolah, btw.”
Mendengar penawaran menggiurkan itu, Ifana tak mau kelewatan. Ia tersenyum lebar dan mengangguk cepat. “Kak Tio janji, ya!”
“Iya, janji.”
“Peluk dulu kalau gitu.”
Radit terdiam, matanya mengerjap pelan saat Ifana merentangkan tangannya ingin dipeluk. Tidak, ini seharusnya biasa saja baginya mengingat mereka sering begini. Tapi ... Radit merasakan hal lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Destiny
Teen Fiction"Kak Tio nanti nikahnya sama Ifa, ya. Biar nanti dapat uang jajan terus dari Kak Tio!" "Kak Tio, Ifa udah mau lulus, nih. Besok kalau Ifa udah wisuda, kita nikah yaa!" "Kak Tio, Kak Tio. Sayang Ifa nggak?" *** Raditio Erlangga benci dengan tingkah m...