✧TigaPuluhLima✧

81.1K 6K 124
                                    

Happy Reading♡




***

“Kak Tio!”

Hening.

Bentakan nyaring itu menghentikan omongan Radit yang menurut Ifana melantur ke mana-mana. Dan beberapa saat setelah itu mereka sama-sama diam. Aneh rasanya, karena mereka tak pernah dalam situasi seperti ini sebelumnya---saat keduanya sama-sama diam.

Dalam diamnya, Radit membalas tatapan Ifana yang menatapnya tajam, cewek itu seolah-olah memasang ekspresi marah. Eh? Kenapa marah?

“Kenapa?” Radit bertanya. “Gue cuma mau nyadarin Lo aja. Kenapa marah?”

“Tau ah!” Ifana berdecak. “Aku tutup dulu, assalamualaikum.”

Belum sempat salamnya dibalas, Ifana memutus sambungan sepihak.

Radit di tempatnya sukses dibuat tercengang, cowok itu melongo menatap ponselnya yang sudah mati. Ia mimijit pelipisnya dan menghembuskan napas panjang, lalu menjatuhkan kepala di atas bantal, matanya memejam selaras dengan hembusan napasnya yang perlahan teratur. Lama-kelamaan, ia hanyut dalam mimpi.

✧✧✧

Ifana masih tetap sekolah, itu harus. Sementara hari ini adalah hari terakhirnya di sekolah semester gasal, setelah nanti penerimaan raport, barulah rencana pernikahannya akan segera dilaksanakan. Semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Meira. Mulai dari dekor, undangan, bahkan gaun pernikahan.

“Hari terakhir, nih. Lepas penat, mau jalan-jalan nggak?”

Ifana yang sibuk merapikan bukunya itu menoleh. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab ajakan temannya itu. “Nggak, ah. Kayaknya aku dijemput, deh.”

Lisa, cewek itu langsung merengut. “Kok Lo sekarang sering dijemput, sih?”

Ifana meringis tak enak. Lisa ini terlalu baik untuknya, dari awal Ifana pindah ke Bandung, Lisalah teman pertamanya yang mengajaknya bicara dan berakhir dekat seperti sekarang.

“Hehe, sori. Lain kali, deh. Beneran janji.”

“Beneran, ya?” Lisa mengacungkan jarinya.

“Iyaa, duluan ya!” Lisa membalas lambaian tangan Ifana yang melangkah keluar kelas.

Sekolah tampak sepi. Sampai di depan gerbang, Ifana mengedarkan pandangan mencari seseorang. Sebab beberapa menit yang lalu, Meira mengiriminya pesan untuk tidak pulang lebih dulu. Ifana pikir mungkin Meira akan menjemputnya, tapi mobil Meira bahkan belum terlihat.

Tak mau malah membuat Meira mencarinya, Ifana memilih menunggu di dekat pos satpam sekolahnya. Sembari menghilangkan bosan, cewek itu membuka ponselnya memainkan game baru yang sempat ia install kemarin.

“Lama nunggu? Ayo, katanya mau jalan-jalan.”

Ifana terkejut setengah mati, ponsel di tangannya sontak saja terjatuh saat ia mendongak dan mendapati Radit yang entah kenapa ada di depannya, dan sejak kapan? Kenapa Ifana tidak sadar?

Radit jongkok, mengambil ponsel Ifana yang terjatuh lalu menyodorkan pada sang pemilik. “Mingkem, netes ntar,” ejeknya saat Ifana melongo menatapnya.

Ifana seketika merapatkan bibir, tersadar. Tangannya terulur menerima ponselnya. “M--makasih.”

“Kak Tio ... kok bisa ada di sini?”

Radit mengangkat alisnya. “Jemput Lo, kan?”

“Lho, itu---bukannya Kak Tio ke Bandungnya masih ntar malem dari sana?”

Line of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang