Happy Reading guys♡
***
Tubuh Radit membeku, matanya berhenti bergerak menjelejahi layar laptop yang mati di depannya. Rahangnya mengeras, sementara tangannya perlahan mengepal di atas paha. Dia tidak bodoh, Radit jelas tahu siapa pemilik suara itu. Bukan, sebab memang hanya satu orang yang memanggilnya Tio dengan embel-embel 'Kak'.
Demi apapun, rasa bencinya membesar sampai ia enggan lagi mendengar suaranya, apalagi sampai menatap wajahnya.
Radit bangkit dari duduknya, melangkah menuju pintu, ekspresi dinginnya benar-benar kentara membuat siapapun mengira itu pasti bukan Radit dengan sifat cerianya. Radit jelas bukan seperti ini biasanya.
Dibukanya pintu itu lebar-lebar. Masih enggan menatap sang lawan bicara, Radit berujar, “Keluar.”
“A--aku---”
“Keluar sekarang!”
Ifana, gadis itu meneguk ludah dan menyatukan tangannya yang bergetar. Bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sementara pandangannya tertuju pada lantai.
“KELUAR GUE BILANG!”
Tangis Ifana pecah, bahunya bergetar hebat, ia membungkam mulutnya sendiri agar isakannya tidak terdengar sementara matanya terus mengeluarkan cairan bening. Perlahan, kakinya melangkah lesu mendekat ke arah Radit yang memang berdiri di samping pintu keluar.
Seketika cowok itu mengalihkan pandangan saat Ifana melangkah mendekat.
Tak berhenti sampai situ, Ifana mencoba menggapai lengan Radit. “Kak, aku---”
“Lepas,” desis Radit sembari menepis kasar tangan Ifana.
Tubuh Ifana hampir saja limbung terjatuh kalau saja Radit tidak segera menarik tali tas cewek itu. Ifana jatuh tepat di dadanya, tapi itu hanya sedetik karena setelah itu Radit mendorong tubuh Ifana menjauh.
Ifana meremas hoodie-nya, takut sekaligus gugup bukan main.
“Mau apa?” Tanpa menatap wajah si lawan bicara, Radit bertanya. Ekspresi dinginnya tak bisa ia hilangkan.
“Aku---Ah, maaf. Mau melamar kerja di sini.” Sebisa mungkin ia sopan.
Radit tersentak, seketika mendongak membalas tatapan gadis itu. Matanya menyipit, meneliti penampilan gadis yang berdiri di depannya itu. Dengan seragam SMA yang hanya terlihat rok abu-abu sampai lutut karena kemeja putihnya dilapisi Hoodie hijau kebesaran.
“Coba ulangi.”
Ifana, gadis itu meneguk ludah dan menyatukan tangannya yang bergetar. Bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, sementara pandangannya tertuju pada lantai. Juga dengan lututnya yang sudah melemas karena ditatap Radit, orang yang ia hindari selama lebih dari tiga tahun ini.
“Aku ... mau melamar kerja di sini, Kak---Eh.” Ifana tak tahu haruskan ia tetap memanggil Radit dengan sebutan 'Kak'.
Ifana langsung melangkah mundur, terlonjak kaget dengan was-was saat Radit maju mendekat mempersempit jarak anatara keduanya.
Ifana meneguk ludah getir saat Radit menarik senyum miring menatapnya. “Segampang itu?”
Mata Ifana memejam menahan tangis dengan kepalanya yang menunduk dalam. Dan saat itu Radit mundur mendekat ke arah pintu. Ifana pikir Radit akan pergi. Segitu bencinya, kah, Radit?
Suara pintu dikunci membuat Ifana tersentak, ia menoleh. Ternyata Radit bukan mau pergi karena ada dirinya, tapi malah mengunci pintu. Cowok itu lantas melangkah mendekat, berdiri menyandar di meja tepat depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Destiny
أدب المراهقين"Kak Tio nanti nikahnya sama Ifa, ya. Biar nanti dapat uang jajan terus dari Kak Tio!" "Kak Tio, Ifa udah mau lulus, nih. Besok kalau Ifa udah wisuda, kita nikah yaa!" "Kak Tio, Kak Tio. Sayang Ifa nggak?" *** Raditio Erlangga benci dengan tingkah m...