Hehe kaget ngga?(^^)
Happy Reading♡
***
Radit membukakan pintu belakang, menuntun tangan mungil untuk turun dari mobil tersebut. Saat kaki mungil berbalut sepatu itu menapak tanah, Radit tersenyum. “Anak pinter,” pujinya.
Tak ada sahutan dari anak kecil itu, membuat Radit menipiskan bibir. “Anaknya siapa dulu?” pancingnya.
“Anak Papa!”
Radit mendesah kecewa mendengar balasan itu. “Daddy, panggil Daddy. Okey?”
“No!”
Radit memutar bola matanya jengah. Tak mau meladeni kekeras-kepalaan anaknya, Radit memilih mengalah saja.
Rafaello Erlangga, ia sendiri yang memberi nama untuk si kecil yang sekarang sudah pandai berbicara banyak hal itu. Padahal rasanya baru saja anak itu belajar merangkak, sekarang sudah bisa membuat sang ayah naik darah karena tingkahnya.
“Ayo, gandeng tangan Daddy.” Walau begitu Radit sedikit memaksa agar Rafa memanggilnya dengan sebutan ‘Daddy’.
Rafa menurut, tangan mungilnya menggenggam jari telunjuk Radit dan mengikuti langkah sang ayah.
Sampai Radit berhenti di salah satu makam yang sering ia kunjungi. Ini pertama kalinya ia mengajak Rafa karena sebelumnya Rafa terlalu kecil untuk diajak ke sana.
“Ayo, Rafa bantu Daddy kasih bunganya biar cantik.”
“Siap!” Rafa mengangguk semangat dan menuruti perintah sang ayah.
“Terus berdoa.”
Radit pun ikut merunduk berdoa, tapi ia langsung menoleh saat Rafa berdoa dengan keras.
“Ya Allah, semoga semua doa papa dikabulkan, biar Rafa ndak capek-capek doa juga.”
Radit melotot, refleks membekap mulut sang anak. Rafa menoleh dengan tatapan polos. “Kenapa Papa?”
Menggeram menahan kesal, Radit bergumam, “Aduh anaknya siapa, sih, ini.”
Namun rupanya, Rafa juga mendengar gumaman Radit. “Anak Papa. Kata Om Geo, Papa yang buat.”
Melotot lagi, Radit memilih melanjutkan doanya lalu setelah itu cepat-cepat mengajak Rafa pergi dari sana. Ternyata membawa Rafa bukanlah ide bagus. Geo juga ternyata membawa dampak buruk untuk anaknya, ingatkan dia lain kali untuk menjauhkan Rafa saat ada Geo.
“Mau ke mana, Papa?”
Radit menoleh, memasangkan topi pada kepala Rafa. “Pakai dulu topinya, Sayang.”
“No, jelek!”
Radit menahan napas, memijit pangkal hidung saat Rafa menolak dipakaikan topi. Anak itu melepas topinya dan lebih parahnya lagi membuang topi tersebut.
“Tapi nggak dibuang juga, dong. Ambil buruan.” Nada tegas Radit terdengar, tak ada bentakan dalam katanya.
Rafa dengan langkah malasnya mengambil topi tersebut dan diulurkan pada sang ayah.
“Lain kali, kalau nggak mau sesuatu, jangan dibuang. Okey?”
“Iya, Papa.”
“Daddy, Sayang. Panggil Daddy, dong, ah.”
“Nda mau.”
Radit menghela napas panjangnya. Mobil Radit perlahan bergerak menjauh, membelah jalanan di pagi kala itu.
Begitu berhenti di sebuah toko bunga yang cukup terkenal, Rafa langsung turun mobil tanpa bantuan Radit. Anak itu berlari memasuki toko.
“Mamaaa!” teriaknya sembari merentangkan tangan memeluk sosok wanita dalam toko bunga tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Line of Destiny
Novela Juvenil"Kak Tio nanti nikahnya sama Ifa, ya. Biar nanti dapat uang jajan terus dari Kak Tio!" "Kak Tio, Ifa udah mau lulus, nih. Besok kalau Ifa udah wisuda, kita nikah yaa!" "Kak Tio, Kak Tio. Sayang Ifa nggak?" *** Raditio Erlangga benci dengan tingkah m...