Pt. 14 - A Deal

270 17 0
                                    

Ray menyimak kata demi kata yang keluar dari bibir mungil Lany. Dia bisa merasakan kesedihan dan ketakutan di tiap ucapannya. Sesekali dia akan menggenggam tangan Lany saat suara jernih perempuan itu tertahan di tenggorokannya, mengingatkan Lany untuk kembali bernapas teratur saat napas perempuan itu mulai memburu. 

"Gue gatau selega ini rasanya habis cerita. Tau gitu dari dulu aja, ya," Lany masih bisa mentertawakan dirinya sendiri. Rasanya seperti ada beban puluhan ton baru saja terhempas yang selama ini menghimpit dadanya. 

"Terus kenapa lo ga cerita ke orang lain?" tanya Ray.

"I did. Gue cerita ke psikolog gue, not in detail. Karena dulu setelah dia pergi, gue pikir udah kelar. Ternyata setiap ada temen yang tanya tentang Andro, gue selalu kena panic attack."

"So, yang 3 bulan yang lalu itu bukan yang pertama kali?"

"Bukan. Gue udah cukup sering kena panic attack sebelumnya, hanya karena denger satu nama itu. Tapi yang 3 bulan lalu itu yang terparah. Biasanya gue cuma deg-degan, gemeteran, keringat dingin. Tapi yang 3 bulan lalu itu gue sampe sesak nafas. Well, you saw it. Somehow I was grateful it was you, seeing me in my worst state," Lany tersenyum memperhatikan Ray yang sedari tadi menyimak tiap perkataanya. "The end."

"Bentar, gue masih heran sama satu hal sebenernya," Ray menolak Lany untuk mengakhiri ceritanya. "Kok lo bisa sih secepet itu berubah? Belum ada sejam yang lalu lo nangis ketakutan, terus sekarang lo udah bisa ngetawain diri lo sendiri. 3 bulan yang lalu juga sama. I was worried about you all day, tapi lo masih bisa haha hihi sama Nadine. What made you switch that fast?

"Practice. Gue belajar mengendalikan emosi gue. Pas gue ke psikolog dulu, menurut beliau symptoms gue belum terlalu parah. Jadi gue bisa belajar buat ngendaliin emosi gue kalo nanti gue kena panic attack lagi. Oh, ada satu lagi sih obat gue," Lany tiba-tiba beranjak dari sofa berwarna beige, berjalan menuju kamarnya. Mata Ray mengikuti setiap gerakan Lany. Beberapa saat kemudian Lany keluar dengan sebuat benda berwarna merah di pelukannya, yang kemudian diletakkan di atas meja di depan mereka. "Ini obat gue. Namanya Abang."

Ray tersenyum. Selama ini dia hanya mendengar Lany memainkan keyboard miliknya dari balik dinding kamarnya. Dia melihat Lany tersenyum dengan mata berbinar.

"Sayangnya aku nih," ucap Lany manja, sambil mengelus-elus Roland GO:KEYS kesayangannya, yang dia beli dengan gaji pertamanya beberapa tahun lalu.

"Kenalin, gue fans lo," Ray tiba-tiba mengulurkan tangan, meminta Lany menjabatnya. Perempuan itu tertawa sembari membalas jabatan tangan Ray.

"Berisik ya gue tiap malem? Maaf ya."

"Enggak lah. Gue selalu nungguin by the way. Biasanya around 10 or so, gue pasti udah stand by di kamar," ucap Rayner tanpa malu.

"What's you favorite?"

"Semua yang lo mainin. But I like River Flows in You the most,"

"Sama, gue juga."

"Mainin dong," pinta Ray.

"Not before you tell me about you," Lany menyeringai.

"Lah, kok jadi gue? What do you want to know? I don't have anything to tell," Rayner mengambil kaleng soda berwarna merah di depannya yang tadi diberikan Lany untuknya dan menyesap isinya.

"Tell me about your ex," Lany menjawab Ray tanpa ragu. Dia juga ingin tau apa yang sebenarnya terjadi karena selama ini dia hanya mendengar dari cerita Nadine.

"What? For real?"Ray keheranan mendengar permintaan Lany. Baru kali ini ada orang yang berani memintanya menceritakan tentang hubungannya dengan mantan tunangannya. Lany mengangguk dengan sangat yakin tentang keingintahuannya. Ray tersenyum memandang perempuan yang menurutnya mengagumkan, yang sekarang sedang menunggu ceritanya dengan tidak sabar.

You amaze me in many ways, Alanis. Ucap Ray dalam hati.

Meet Me at The Emergency Stairs | Jung Jaehyun (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang