Pt. 23 - Little Quarrel

191 13 2
                                    

Ray baru saja keluar dari salah satu ruangan direksi perusahaannya, yang juga adik dari papanya. Dia diberitahu omnya jika dalam sebulan ke depan dia akan dipindahkan ke kantor pusat perusahaan mereka di Singapore atas permintaan papanya. Rahangnya mengeras saat keluar dari ruangan itu.

Dia terkadang membenci sifat papanya yang sewenang-wenang. Tidak pernah menanyakan pendapatnya, apakah dia suka atau tidak, apakah dia bersedia atau tidak, apakah dia sanggup atau tidak, dan bahkan meminta persetujuan darinya saat memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan dirinya. Dulu saat pesta pertunangannya pun, semua papa dan mamanya yang memutuskan. Bukan keinginan darinya untuk mengadakan pesta pertunangan yang begitu mewah dengan hampir seratus undangan. Padahal dia ingin momen itu menjadi momen yang intim bagi dia, Meghan dan keluarga dekat mereka saja. 

Dan sekarang terulang lagi. Dia bahkan belum sampai 2 tahun menjabat posisinya saat ini. Apa lagi yang akan dibicarakan orang di belakangnya saat nanti mereka mengetahui dia akan dipindahkan ke kantor pusat perusahaan mereka di Singapore yang menjadi impian sebagian besar pegawai di kantor ini. Dan lagi, hatinya terasa berat jika harus jauh dari Lany.

Sekembalinya dari ruangan pamannya, Ray langsung menyambar tasnya dan keluar meninggalkan ruangan tanpa berpamitan dengan penghuni ruangan yang lain. Padahal saat itu belum ada seorangpun yang pulang.  Lany dan Nadine yang melihat itu saling bertukar pandang, mengangkat bahu mereka tanda mereka tidak mengerti kenapa Ray terlihat semarah itu. Padahal saat itu waktu pulang masih satu jam lagi.

"Emang ada meeting di luar, Kak?" tanya Nadine ke Lany yang biasanya mengetahui jadwal Ray.

"Enggak tuh."

"Kayak lagi marah banget nggak sih, Kak?" Nadine yang melihat raut muka Ray saat meninggalkan ruangan tadi sampai bergidik.

---------- 

Sebelum naik ke unit apartemennya tadi, Lany mampir sebentar ke minimarket di lantai dasar untuk membeli sekantong es krim untuk dimakan bersama Ray. Siapa tau dengan es krim amarah Ray bisa mereda.

Setelah menyimpan tas dan mengganti sepatunya dengan slippers, Lany mendatangi unit apartemen Ray. Lany mengetuk pintu beberapa kali namun tidak ada jawaban. Padahal dia yakin tadi Ray sudah berada di dalam. 

"Di emergency exit kali ya," gumam Lany pada dirinya sendiri sambil berjalan ke arah pintu putih besar di sebelah unit apartemen Ray. 

Benar saja, saat Lany membuka pintu itu Ray sedang berdiri bersandar pada pegangan tangga memunggungi pintu sambil merokok. Ray terlihat kacau saat itu. Rambutnya terlihat acak-acakan, dua kancing teratas kemeja abu-abunya terbuka, ujung-ujung kemejanya sudah keluar dari dalam celananya, lengan kemejanya tergulung sampai siku. Rokok yang tinggal tersisa setengah sedang terselip di antara bibir tipis miliknya. Ray yang menyadari ada seseorang yang datang, membalikkan badannya. Pandangannya hampa menatap Lany di hadapannya.

"Stop, Ray. Lo udah ngerokok banyak banget. Liat deh," Lany menunjuk puntung-puntung rokok yang berceceran di lantai. Namun keinginan Lany tidak diindahkan oleh Ray. Dia bersikeras mengambil satu batang lagi saat rokok sebelumnya sudah habis dihisapnya. Namun, belum sempat rokok itu dinyalakan, Lany merebutnya dari tangan Ray, mematahkannya menjadi dua dan membuangnya.

"Stop what? You stop! Who are you trying to stop me?! Don't act like you care, Alanis," Ray membentak Lany cukup keras. Dia bahkan memanggil Lany dengan nama depannya, cara yang tak pernah disukai Lany.

"Why are you yelling at me? Lo kalo lagi fucked up jangan ngelampiasin ke orang lain bisa? Kalo lo capek, just rest. Kalo lo lagi ada masalah, just tell me if you want to share it. Chill, I'm just trying to calm you down. Well, you're welcome," Lany yang terpancing emosi melempar plastik yang dia bawa tadi di depan Ray.

Ray menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia sungguh tidak bermaksud untuk membentak Lany. "Lany, look, I'm sorry. I'm so sorry," Ray menahan perempuan itu untuk pergi.

"What now? Lepasin nggak? Gue nggak mau jadi samsak lo, Rayner. Let me go!" Lany menyentak tangan Ray cukup keras dan meninggalkannya.

Kekecewaan, kesedihan dan kemarahan tergambar jelas di wajah Ray. Dia tidak menyangka akan membentak Lany yang bahkan tidak tau masalah yang sedang dia alami. Ray memungut plastik yang tadi Lany lempar tepat di hadapannya, melihat isi di dalamnya dan makin menyesali tindakan bodohnya.

Seharusnya dia sekarang sedang duduk berdua dengan Lany menikmati es krim itu, dan mungkin saja dia bisa menyandarkan kepalanya sebentar di pundak Lany untuk menghapus kekecewaan terhadap keputusan papanya. Namun sudah terlambat.

 ----------

Malam itu, setelah sedikit perselisihannya dengan Lany tadi, Ray kembali mendengar suara dentingan keyboard dari kamar Lany. Perempuan itu juga bernyanyi dengan iringan keyboard yang dia mainkan.

Samar-samar Ray mendengar lagu Fix You milik Coldplay sedang dinyanyikan oleh Lany diiringi alunan keyboardnya. Ray duduk di kasurnya, menyandarkan kepalanya ke dinding yang bersisihan dengan dinding kamar Lany, menikmati suara samar-samar Lany dan alunan keyboardnya. Ray terkesiap, mengusap pipinya yang basah karena sebulir air mata. Tangan kekarnya mengepal erat membuat urat-urat di sekitarnya menyembul, menahan segala emosi yang dia rasakan seharian tadi.

Meet Me at The Emergency Stairs | Jung Jaehyun (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang