Your Name

344 32 13
                                    

Setya's PoV

Pelajaran tambahan setelah pulang sekolah, bimbel, mengajar les, dan membantu teman-temanku belajar sungguh membuat waktu berjalan sangat cepat. Aku bahkan terkejut tiba-tiba sudah melaksanakan UTS dan melewatinya. Setelah satu minggu class meeting, hari pembagian raport oleh orang tua atau wali pun tiba. Tapi, tak seperti sebelumnya, pengambilan raport kali ini mewajibkan murid untuk ikut.

"Seperti biasa, nilai anak ibu selalu baik dan menjadikannya ranking satu sejak dia pindah ke sekolah ini." ucap Bu Indah selaku wali kelasku kepada mama saat pembagian raport setelah semester 1 berakhir. Mama hanya tersenyum sambil mengusap puncak kepalaku. Mungkin karena hal ini sudah biasa baginya.

"Bu, saya mau tanya. Apakah nilai saya cukup untuk SNMPTN?" tanyaku, karena memang sudah waktunya memikirkan hal ini. Ditambah lagi aku memang mengincar PTN.

"Sudah pasti, Setya. Nilai kamu sejak semester satu sampai lima sekarang ini sudah sangat cukup. Sudah ada tujuan mau ke mana?" tanya bu Indah.

"Saya ada rencana ke UNY, bu. Mau ambil Manajemen Pendidikan." jawabku.

"Wah, bagus! Semoga diterima, ya. Soalnya, belakangan ini lulusan SMA AD jarang ada yang mau coba ambil SNMPTN meski nilainya cukup."

"Amin. Em... kalau nilai teman-teman saya apakah cukup juga untuk SNMPTN? Yessica dan Fiony." tanyaku dengan suara yang lebih pelan.

Bu Indah tersenyum. "Coba kalau itu tanya ke mereka saja. Mungkin bisa dimulai dari Fiony yang raportnya sudah diambil."

"Baik, terima kasih, bu." balasku.

Karena sudah tak ada yang perlu dibahas lagi, aku dan mama keluar dari kelas dan giliran Timo yang didampingi kak Lala karena dia absen setelahku. Mama yang hendak langsung kembali ke pasar langsung memberi raportku dan menitipkan raport Eli padaku, kemudian pergi lebih dulu.

Aku menghampiri Chika, Dey, Fiony, Firman, dan Aya yang raportnya sudah diambil. Sebenarnya aku juga ingin menghampiri Chika, tapi keberadaan papanya yang memiliki tatapan dingin membuatku tidak berani dekat-dekat. Chika hanya bisa melihat kami di sebelah papanya yang sedang sibuk menelpon. Setidaknya kali ini papanya hadir, tidak seperti sebelum-sebelumnya, membuatnya harus mengambil raport sendiri dan mengambilkan raport Christy.

"Fi, nilai kamu cukup gak buat SNMPTN?" tanyaku pada Fiony, karena teman-temanku yang lain di situ tidak ada yang melanjutkan PTN.

"Aku tadi sempet tanya itu, tapi bu Indah bilang buat coba dulu. Nilai aku dari dulu pas-pasan." jawabnya, kemudian melipat bibir dan menggembungkan pipinya. Untuk apa dia melakukan hal menggemaskan seperti itu?

"Nilai lu pas-pasan tapi stabil banget di ranking sepuluh besar dari dulu. Bisa, lah." Firman memberi Fiony sedikit dukungan moral. "Kalo lu mah ga perlu ditanya. Pasti ranking satu lagi." tambahnya sambil menatapku, membuatku malu dan hanya bisa tersenyum lebar.

"Man, ada kabar lagi gak tentang klub bola yang ngundang lu?" tanyaku pada Firman.

"Mereka tiap dua minggu sekali ngirim email, tapi cuma tanya kabar sama kepastian gue gimana besok." jawabnya.

"Lu jawab gimana?"

"Ya udah pasti mau, lah. Gila apa gak nerima undangan kaya gitu." Firman tertawa. "Gue sama Timo rencananya mau bikin paspor liburan nanti, buat jaga-jaga."

"Eh, kabarin gue juga dong kalau mau bikin!" sahut Dey langsung, membuatku teringat kalau dia juga akan pergi ke Inggris setelah pendidikannya di sini berakhir.

Nafasku terasa berat setelah menyadari kalau kami akan berpisah dengan jarak yang sangat jauh. Memang teknologi sekarang ini cukup membantu mendekatkan yang jauh, tapi kesibukan kami pasti cukup mengganggu komunikasi kami. Bahkan komunikasiku dengan Shani sudah cukup jarang meski kami masih SMA. Omong-omong soal Shani, dia lanjut kemana ya setelah ini?

TutorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang