X = Y

396 33 5
                                    

Awal dari semester akhir dimulai dengan pagi yang mendung. Dengan pikiran kosong karena nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, Setya berangkat sambil memacu motornya pelan. Masih pukul enam pagi, pikirnya. Setelah memarkirkan motornya, dia berjalan dengan langkah gontai menuju kelasnya. Bahkan saat akhirnya dia duduk di bangkunya, dia hanya melamun tanpa melepas tasnya lebih dulu.

"Sisa tiga bulan lagi, ya?" batinnya sambil mengamati isi kelasnya, sambil mengingat kenangan di setiap sudutnya. Meriah, tegang, sendu, semua pernah terjadi di ruang kelasnya.

Lalu dia melihat bangku teman-teman terdekatnya satu per satu. Chika yang berada tepat di depannya, Dey yang berada di arah jam 1-nya, Timo di sebelahnya, Firman di belakang Timo, dan Fiony tepat di sebelah kirinya. Formasi duduk yang hampir tidak berubah sejak kelas 10.

"Yo!" sapa Firman yang selalu datang pagi. Setya hanya mengangkat kedua alisnya, kemudian baru melepas tasnya.

"Kurang apa gimana liburan lu? Lemes bener." tanya Firman setelah menaruh tas di bangkunya.

"Kebawa mendung, Man." jawab Setya sambil tertawa sedikit.

Masih merasa ingin sendirian, Setya keluar dari kelas dan pergi ke perpustakaan. Ruangan itu sudah terang dan dingin meski penjaganya belum tiba. Suasana yang sempurna untuknya.

"Udah berangkat?" ketik Setya, lalu dia menekan tombol kirim kepada Shani tanpa pikir panjang.

Pasca kejadian malam natal waktu itu, Setya merasa tidak enak jika terlalu lama bersama teman-temannya. Dia tau apa yang terjadi dengan dirinya, tapi dia enggan mengakuinya. Dia merasa canggung bersama mereka, terutama dengan teman-teman perempuannya. Ditambah lagi, Setya sudah benar-benar 'memilih' salah satu di antara mereka. Sosok yang suatu saat akan dia ajak serius jika kesempatan masih ada untuknya.

Karena tak ada teman cerita lagi, akhirnya dia dekat kembali dengan Shani meski hanya lewat chat atau telepon.

"Baru aja sampe nih"
"Aku langsung ke rooftop dulu tadi abis baca notif kamu"
"Masih ga enak?"

"Iya"
"Tadi ketemu firman aja rasanya-"

"Mau telpon?"

Belum sempat Setya menyelesaikan chatnya, Shani langsung mengirim pertanyaan itu. Dia mengamati kondisi sekitarnya lebih dulu. "Boleh"

Panggilan dari Shani langsung masuk begitu Setya mengiyakan tawaran itu.

"Pagiii." sapa Shani dari seberang. Suara yang candu bagi siapapun yang mendengarnya.

"Pagi, Shan. Iya, perasaanku tiap sama mereka masih gak enak. Canggung banget."

"Yo jelas canggung, 'wong' kamu tolak semua." gurau Shani yang sudah tau cerita Setya.

"Kalau aku bilang, 'Aku seneng kamu tolak mereka', menurut kamu gimana?" tanya Shani.

"Kenapa kamu bisa seneng?"

"Setya, aku itu perempuan. Aku udah pasti ngerasa... ekhm, cemburu, liat kamu deket sama perempuan kaya mereka. Baik, pinter, selalu ada di deket kamu, cantik-cantik pula. Hh... Karena pikiran-pikiran itu, akupun sempet mikir kalau janji kita mending dibatalin aja. Apalagi kamu niat banget mau kalahin aku, bikin aku mikir kalau kamu bener-bener gak mau sama aku."

"Aku kan udah bilang alasan aku mau kalahin kamu itu apa. Janji tetep janji. Aku gak mungkin ingkarin itu. Makasih ya, buat tetep pertahanin janji kita dan gak jadi minta batalin." balas Setya, sambil tertawa sedikit di akhir kalimatnya. Tapi ada penyesalan dari dirinya karena kalimat terakhir Shani barusan ada benarnya, yaitu Setya tidak ingin mereka bersama. Lebih tepatnya, tidak bisa.

TutorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang