Tracing that Dream

553 36 5
                                    

Setya’s PoV

17 Februari 2018

Try Out pertama di akhir bulan Januari dan Try Out kedua di minggu ini sudah kulewati. Hasilnya sangat memuaskan. Teman-temanku yang kubantu dalam belajar juga menempati posisi sepuluh besar di kelasku. Tak ada yang perlu aku khawatirkan lagi mengenai performa belajar mereka. Begitu juga Jessi dan Raka yang sudah setuju bila kuhentikan les mereka karena aku memang fokus untuk teman-temanku dan diriku sendiri, karena kupikir mereka sudah terlalu pintar untuk kuajari lagi. Tapi aku tetap akan membantu kalau mereka membutuhkan.

Hari ini, setelah pulang sekolah aku langsung berganti pakaian dan mengambil tas di rumah, kemudian berangkat ke Jogja naik bus pukul 1 siang sendirian. Sesuai durasi perjalanan di Map, aku sampai di Jogja pukul 6 sore. Matahari sudah tidak terlihat tapi masih menunjukkan cahaya, membuat langit berwarna jingga.

“Setya!” 

Aku menoleh ke arah suara itu. Kulihat Shani sudah stand-by di samping mobilnya untuk menjemputku. Saat aku mendatanginya, dia langsung masuk ke mobil, membuatku langsung ikut masuk melalui pintu depan.

“Thank you, Shan, udah mau jemput. Nih, dari mama.” ucapku sambil mengangkat plastik berisi beberapa kue kering dan basah buatan mamaku.

“Sama-sama. Titip makasih buat mama kamu. Taruh di kursi belakang aja.” balasnya sambil memindah persneling lalu memundurkan mobilnya untuk keluar dari terminal bus. 

“Mau makan dimana?” tawar Shani saat kami berhenti di lampu merah. 

Kuamati sekitar, memikirkan tempat makan yang cukup kurindukan tapi tak terlalu jauh dan terlalu mahal juga.

“Bu Rum sebelah Sadhar aja, Shan, mumpung kamu lewatnya sini.”

“Ga bosen?” balasnya.

“Udah satu tahun gak kesana gimana mau bosen?” balasku, lalu kami tertawa. 

Setibanya di tempat makan, aku ambil makanan seperlunya dan kami makan di lantai dua yang kebetulan belum terlalu ramai.

“Besok pagi mau berangkat kapan?” tanya Shani di sela-sela makan.

Tujuanku pergi ke Jogja bukanlah mengunjungi Shani, tapi makam papa. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan selagi aku masih bisa menyempatkan diri sebelum sibuk.

“Kalau nggak jam tujuh ya delapan. Sebangunnya aja. Yang pasti aku pulang siang.”

“Tapi kamu hari ini kerasa capek banget, gak?”

“Ga begitu, soalnya udah tidur mayan lama di bus. Abis ini mau keluar?” tanyaku, lalu dia mengangguk cepat. “Yaudah, nanti sampe rumah aku mandi dulu.”

“Eh!? Kamu ngapain?” aku terkejut melihat Shani di kamarku, bukannya menunggu di ruang tengah seperti yang kuminta sebelumnya. Untung aku sudah memakai celana dari kamar mandi.

“Nyiapin pakaian kamu, biar cepet.” Shani terkekeh, lalu keluar dari kamar melewatiku. 

Kulihat di atas kasur ada pakaian yang sebelumnya berada di dalam tasku. Dia benar-benar menyiapkannya.

“Udah, yuk. Mau kemana?” tanyaku.

“Ikut aja.”

Aku hanya menurutinya. Dia membawa kami ke sebuah cafe yang menurutku baru, karena kami belum pernah ke tempat ini sebelumnya.

“Hei!” teriak Shani sambil melambaikan tangan ketika kami baru masuk ke cafe.

Aku ikut memandang kemana arah Shani melambaikan tangan, rupanya ada Cia dan Greco. Aku mendadak malas melihat wajahnya.

TutorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang