Selfish Shooting Star

6K 115 24
                                    

"Setya, Eli, besok kita mulai packing ya, kita berangkat lusa soalnya."

"Berarti kita bakal pindah dari Jogja beneran ya?" tanya Eli.

"Iya. Karena sekarang papa sudah ga ada, kita mulai hidup baru ya?" jawab mama.

"Kamu gimana?" tanya mama padaku.

"Bebas." jawabku, kemudian meninggalkan mama dan Eli, lagipula kami sudah selesai membereskan garasi yang baru saja menjadi tempat acara peringatan meninggalnya papa setelah 40 hari.

Aku masuk ke kamar dan langsung membuka isi lemariku. Kukeluarkan koper dari bawah ranjang dan mulai kumasukkan pakaianku ke dalam sana, aku juga ingin segera pergi dari kota ini. Bukannya aku tak menghormati kepergian papa yang belum lama, karena jika ditanya apakah aku sedih, tentu aku sangat amat sedih. Kepergianya yang sangat tiba-tiba itu sungguh sulit kuterima karena malam hari kami masih sempat makan di sebuah restoran bersama-sama merayakan kelulusan SMP dan Eli yang kelak akan menjadi anak SMA, kemudian tiba-tiba saja keesokan paginya papa tidak terbangun dari tidurnya, nafasnya tak berhembus, jantungnya tidak berdetak lagi. Rasa sakitku makin bertambah karena melihat tangisan adikku, Eli yang kehilangan sosok pahlawan dan 'cinta pertama'nya. Sulit mengukirkan apa yang Eli rasakan ketika dia yang pertama kali menyadari kepergian papa, bukan mama yang kebetulan memiliki kebiasaan langsung bangun dan membuat sarapan, sedangkan Eli yang akan membangunkanku dan papa, tapi saat itu dia tidak bisa membangunkan papa lagi, tepat satu hari setelah Eli merayakan kelulusannya.

10 hari setelah kepergian papa, mama langsung memberitahuku dan Eli kalau kami sudah di daftarkan ke sekolah yang sama di kota oma berasal. Tak tahu kalau Eli, tetapi aku sama sekali belum mengabari teman-temanku karena sekolah sudah libur paska ujian kenaikan kelas, sedangkan aku mengisolasi diri dari media sosial. Teman-temanku tau kalau papaku meninggal, namun belum tau akan kepergianku sebentar lagi. Hm, kurasa segera menyelesaikan packing dan pergi ke sekolah besok untuk terakhir kali adalah ide yang lumayan bagus.

***

"Rapi amat mau kemana bang?" tanya Eli yang baru saja bangun dari tidurnya dan mengucek matanya.

"Mau ke sekolah, mau jalan-jalan selagi libur." jawabku, kemudian hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Eli.

"Eh bang tunggu, aku mau ikut juga." ucap Eli tiba-tiba

"Mau ngapain?"

"Aku juga mau liat tempat papa kerja bang. Boleh ya?"

"Yaudah, buruan mandi terus sarapan, abang tunggu di kamar."

Eli langsung turun dari kasurnya dan keluar dari kamarnya. Kulihat kamar bagian Eli sudah bersih, dan kopernya sudah berada di depan lemarinya. Mungkin dia packing saat aku sudah tidur? Melihat nakas Eli yang sudah tidak ada barang-barang miliknya lagi, aku ingat belum membereskan nakasku, masih ada beberapa tumpuk buku luar sekolah yang kupakai untuk belajar. Kubereskan buku-buku itu untuk kubawa pergi juga sembari menunggu Eli, karena materinya bisa kuajarkan kepada Eli saat sudah mulai masuk sekolah.

Waktuku tersita cukup lama karena bingung harus kuletakkan mana buku-buku itu. Saking lamanya Eli sampai sudah selesai mandi, berganti pakaian dan keluar kamar lagi untuk sarapan. Aku beberapa kali melakukan pengaturan letak dalam koperku dan sampai akhirnya buku-buku bisa masuk semua bersama pakaianku.

"Yuk bang." ajak Eli ketika melihat pekerjaanku sudah beres.

Kami bersama-sama berangkat ke sekolahku naik motor yang biasa kupakai untuk berangkat sekolah. Sesampainya di sekolah, gerbang terbuka setengah karena memang hanya ada guru atau staff yang sedang piket.

Eli hanya diam mengikutiku selama aku berjalan menyusuri koridor lantai satu, sampai akhirnya aku berhenti di depan lemari yang berisi macam-macam penghargaan milik siswa-siswi sekolah ini.

TutorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang