To The Other Side

284 28 4
                                    

Setelah mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Chika, hari-hari yang dijalani Setya terasa canggung karena posisi duduknya di sekolah yang selalu berada di belakang Chika. Memang dia tak menjauhi Chika, tapi dia mulai membatasi interaksinya. Chika sadar akan hal itu, tapi tak membuatnya mundur begitu saja dan bersikap seperti biasa terutama jika ada teman-teman yang lain agar tidak mencurigakan. Berbeda dengan Christy yang mendadak menjadi lebih diam. Kalau memang tak berpapasan dengan Setya, maka dia tak akan mencari bahkan memanggilnya. Setya yang masih terlalu sering memikirkan Chika tak sadar akan sikap Christy yang seperti itu.

"Jadi gitu deh, makin bikin pusing." tutup Setya setelah cerita panjang lebar kepada Eli yang sadar dengan tingkah abangnya belakangan ini.

Eli masih diam setelah mendengar cerita abangnya, tak sanggup berkata-kata.

"Ci Shani udah tau?" tanya Eli, kemudian Setya menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Menurutmu dia harus tau gak?" tanya Setya, tapi Eli tak bisa menjawabnya juga.

"Biasanya sih kalau cewek udah nyatain duluan tuh jadiannya gampang. Eh, tapi dulu ci Shani yang nyatain duluan kan ya, terus abang gak mau? Haduh, sama ci Shani aja gak mau apalagi-"

"Aku tuh bukannya gak mau sama Shani, tapi gak bisa. Tau kan kenapa?" sela Setya, kemudian Eli teringat perbedaan di antara mereka dan mengangguk.

"Dulu, aku masih gak mikirin perbedaan aku sama dia, masih bingung apa yang bikin aku gak bisa barengan sama dia. Makin ke sini, aku makin sadar sama hal itu, tapi aku juga ngerasa sayang kalau lepas dia gitu aja. Apalagi udah sejauh ini..."

"Tapi apa gak kasihan sama ci Shani, bang? Dia udah sering bela-belain banyak hal demi abang, tapi masa abang kaya gini? Percuma dong abang udah bikin janji?" protes Eli.

"Ya makanya aku harus bisa menang!" bentak Setya tanpa sadar.

Setya mendengus, kemudian turun dari kasur. Dia memakai jaket, mengambil kunci motor dan pergi begitu saja meski sudah jam 9 malam. Pikirannya sudah teramat jenuh.

Setya melajukan motornya tanpa tujuan, hanya mengelilingi kota kecil tempatnya tinggal sekarang. Pikirannya terbang ke tempat-tempat yang dia anggap membekas di ingatannya, kemudian melewati tempat-tempat itu tanpa sadar.

Ckiit!

Setya menekan remnya mendadak karena dia hampir melindas sebuah bola.

"Man?" panggil Setya kepada sosok yang mengambil bola di depan motornya. Setya mengamati sekelilingnya dan ternyata berada di komplek tempat Firman dan Aya tinggal, lebih tepatnya di lapangan komplek tersebut.

"Lah, lu ngapain jam segini di mari? Mau ngapelin Aya?" tanya Firman.

"Kagak anjir, pengen jalan-jalan aja. Lu sendiri?" tanya Setya balik. Firman hanya menjawabnya dengan menunjuk lapangan, menunjuk Timo yang berdiri menunggu Firman dan melihat Setya juga.

Firman berlari kembali ke lapangan, kemudian Setya memutuskan untuk mengikuti mereka.

"Lu masih pada latihan sampe jam segini?" tanya Setya.

"Mau kapan lagi?" jawab Firman.

"Pulang sekolah belajar Bahasa Inggris sama lu, belum kalo bimbel. Udah gak mungkin kalo gabung ekskul." tambah Timo, kemudian menembakkan bola ke gawang.

Setya hanya mengangguk sambil melihat Timo dan Firman yang terus berlatih demi impian mereka. Setya mengira kalau mereka berdua yang memang tak begitu aktif lagi di ekskul benar-benar jarang berlatih lagi, tapi ternyata mereka melakukannya sampai malam hari.

Setya berdiri, mencoba menggiring bola menuju kotak pinalti.

TANG!!

Setya menendang bola itu mengenai tiang berkali-kali. Timo dan Firman awalnya melihat itu sebagai tendangan yang buruk, tapi saat Setya bisa melakukannya berulang kali, mereka berpikir kalau itu bukan kebetulan atau kemampuan menendang yang buruk.

TutorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang