Opposition

462 34 8
                                    

"Halo? Ada apa?" tanya Shani dari seberang sana waktu aku telepon.

"Aku mau kasih kabar aja kalau aku juara satu Olimpiade Matematika." ucapku sambil memegang piala di pangkuanku.

"Yang bener!? Terus semester depan bisa ikut Nasional gak?" Shani terdengar antusias.

"Kalau itu... kayanya belum." jawabku sambil melirik bu Lidya di sebelahku. Tiba-tiba bu Lidya melirikku dan matanya menandakan kalau beliau bingung.

"Hm... kalau gitu tahun depan loh. Jadi kan cerdas cermat?"

"Iya, aku bakal usaha lebih lagi. Ditunggu ya."

"Okey deh. Aku tutup dulu ya, ada kegiatan." setelah itu Shani menutup teleponnya.

Kenapa aku tidak chat? Karena aku cukup rindu dengan suaranya. Meski memang akan cukup mengganggu karena aku bersama dengan anak-anak sekolahku yang mengikuti Olimpiade Provinsi. Iya, kami baru saja dari Semarang lagi untuk menerima penghargaan dan Puji Tuhan aku juara 1. Aku lega, tapi tak tau kenapa juga merasa hampa. Aneh, sungguh aneh. Jawa Tengah jelas lebih besar daripada D.I.Y, tapi kenapa aku bisa menang dengan cukup mudah?

"Tadi itu siapa?" tanya bu Lidya.

"Tadi itu teman sekaligus saingan saya di Jogja bu."

"Shani?"

"Kok ibu tau?"

"Ya kan kalian kebanggaan bu Laksani, gimana bisa saya gatau."

Aku hanya mengangguk saja menanggapi itu. Iya juga ya, aku lupa.

"Berarti kalau saya ingin mengikuti Olimpiade skala Nasional harus tunggu tahun depan ya bu?" tanyaku.

"Em... bisa dibilang begitu. Bukannya saya tidak yakin dengan kompetensi kamu, tapi memang kamu saya rasa tanggung kalau mengikuti satu mata pelajaran dalam Olimpiade. Ibu berencana langsung ikutkan kamu di Cerdas Cermat Nasional, tapi tahun ini saya fokuskan kejuaraan itu untuk kakak kelas yang ingin bertanding untuk terakhir kalinya, jadi kamu belum bisa ibu ikutkan. Kamu juga perlu team dengan anggota lima orang, sedangkan dari angkatan kamu cuma ada kamu, Medelyne dan juga Aya."

"Syarat untuk itu apa bu?"

"Cukup tiga besar di Olimpiade Provinsi, maka saya akan ikutkan murid itu."

Timo dan Firman... mereka sudah pasti tidak berminat karena sudah pasti mereka akan memilih sepak bola, apalagi sekarang mereka sudah terpilih untuk mewakili Jawa Tengah dalam Timnas U-19 di SEA Cup tahun depan. Kelas 3 mereka bisa mengikuti Olimpiade Provinsi, tapi menurutku pelajaran bukan passion mereka.

"Tapi ingat, ibu hanya menerima murid berbakat." tambah bu Lidya.

Baru saja aku memikirkan Chika dan Dey. Hh...

"Sebenarnya ibu tak terlalu setuju kalau kamu mengajari apa yang tidak bisa dikuasai oleh Dhea, Yessica bahkan Christy. Membiarkan orang berbakat ada di tempat yang tak sejalan dengan bakat mereka adalah sebuah kesalahan. Kalau kamu terus-terusan nurutin apa yang mereka mau, mereka yang bakal sengsara setelahnya." tambah bu Lidya lagi.

"Tapi bu, bukannya kalau tidak dicoba tak akan ta-"

"Ibu sudah tau, karena ibu pernah mengalami hal semacam itu. Hampa. Itulah yang terjadi kalau kamu buang bakat kamu dan memilih pilihan cuma karena keinginan."

"Saya.. saya tidak paham."

"Tidak masalah, tapi ibu tetap teguh pada pemikiran ibu tentang itu."

Aku tak bisa berbicara lagi. Apa yang terjadi dengan bu Lidya sampai memiliki pemikiran seperti itu? Hampa? Apa maksudnya?

TutorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang