Untold Tales

488 39 19
                                    

Setelah Oktober yang cukup sibuk dengan mengajar dan mendukung adikku serta tim sepakbola perempuan, akhirnya November tiba dan study tour ke Bali dimulai! Aku berhasil mengumpulkan uang sendiri lewat mengajar Raka sebagai guru les privatnya, dan mama hanya tinggal memberiku uang saku untuk di Bali yang tentu juga akan kusisihkan untuk oleh-oleh keluargaku.

Hm... tempat duduk di bus dibebaskan tapi aku harus duduk dengan siapa? Timo sudah dengan Firman, Chika juga sudah dengan Dey.

"Kosong gak?" tanyaku ke Fiony yang duduk di bagian depan.

Dia mengangguk dan aku langsung duduk di sebelahnya. Mungkin karena banyak yang kurang baik mengenalnya malas untuk duduk dengannya.

Selama perjalanan bisa kulihat Fiony aktif menggerakkan jari-jarinya di HP. Aku jadi teringat perkataan ci Devytha yang bilang kalau Fiony cukup bucin.

"Kalian emang sering banget saling ngabarin ya?" tanyaku ke Fiony.

"Siapa?" tanya Fiony balik.

"Kamu lah sama mas Aji. Siapa lagi?"

"O-oh, iya, hehe.." ucap Fiony, lalu dia menaruh HPnya di atas pahanya.

"Denger-denger kamu bulan kemarin jadi guru les privat ya?" tanya Fiony.

"Iya. Kok tau?"

"Kan denger-denger. Aku denger waktu kamu ngobrol sama yang lain."

Kurasa aku memang tak terlalu sering mengobrol dengan anak ini. Kira-kira obrolan apa ya yang bisa nyambung dengan Fiony?

"Kamu ke Bali hampir satu minggu gini dikasih ijin sama café?" tanyaku balik ke Fiony.

"Jelas dong, kan alasan pendidikan juga. Downnormal meski lagi krisis pegawai tapi mereka masih mau pertahanin yang kerja disitu juga, jadi aku masih dikasih ijin kalau ada alasan pendidikan gini."

"Emang ga buka lowongan?"

"Buka sih, tapi sejauh ini kata manajernya yang lamar tuh hasil interviewnya ga cocok semua, jadi belum dapet pegawai baru."

"Misal dapet pegawai baru nanti shift kamu berkurang dong?"

"Mungkin bisa sih, jadi kamu bisa lebih banyak bantu aku belajar, hehe." Fiony tiba-tiba tersenyum padaku.

"Berarti kamu udah siap beneran ya ikut Olimpiade tahun depan?"

"Kamu udah janji kan?" tanya Fiony balik, lalu aku mengangguk.

Kuharap aku bisa menepati janjiku dengan Fiony. Sejak urusanku dengan Christy 2 bulan lalu, aku cukup sering kepikiran dengan ucapan Chika yang mempertanyakan ketepatan janjiku, dan sekarang Fiony tiba-tiba membicarakan janjiku padanya. Janjiku ke Fiony juga merupakan pertaruhan masa depannya yang ingin menjadi seorang Dokter, sebuah profesi yang sangat mulia.

"Oiya, kenapa kamu mau jadi Dokter?" tanyaku karena tiba-tiba teringat impiannya yang masuk kuliah kedokteran.

"Bisa dibilang aku kaya merasa terpanggil aja gitu buat masuk ke dunia medis, makanya aku udah gabung PMR dari SMP. Waktu SD aku juga udah jadi Dokter Kecil. Bentar.... Ini dia!" Fiony menunjukkan HPnya kepadaku, menunjukkan fotonya mengenakan seragam serba putih waktu masih kecil.

"Orangtua kamu ada yang background medis juga?" tanyaku lagi, karena menurutku cukup jarang bila orangtua yang tidak ada background dunia medis tapi anaknya menempuh jalan itu.

"Iya, mama aku bidan." jawabnya. Berarti benar dugaanku.

"Kebetulan aku sama mas Aji dulu juga punya mimpi buat sama-sama jadi dokter. Sekarang dia kuliah kedokteran juga kok. Misal aku gabisa nyusul dia, aku bakal tetep usaha biar bisa masuk kedokteran meski harus beda kampus juga sama dia." lanjut Fiony.

TutorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang