"Dasar pengecut!" pekikku pada sosok bocah bersurai biru sepertiku.
Klein mendecih. "Apaan?! Aku malas mengikuti perburuan bodoh itu. Adu kekuatan kok memburu hewan? Adu jotos denganku sini!"
"Dih." Aku memandangnya seolah-olah tengah melihat beruang berjalan menggunakan high heels. "Nanti nangis!"
Klein menggedikkan bahu tak peduli. "Sudahlah, aku fotosintesis dulu. Bye!" pamitnya dengan lebay, membuatku ingin menendang bokong si kunyuk ini.
Sial! Kenapa aku punya saudara sinting macam dia?!
Aku menarik kerah belakangnya sebelum Klein melangkah lebih jauh. "Ikut, bodoh! Kau mau ayah mati sendirian? Setidaknya kau harus ikut dengannya agar di akhirat dia punya teman mengobrol. Dan ahli waris akan jatuh padaku. Ahahahahahahaha!" candaku diakhiri dengan tawa bahagia.
"Adik jahanam!" ketus Klein menyumpahiku. "Ibu! Lihat Betty, ibu! Dia mendoakan Ayah mati!" adunya berteriak.
"Heh! Dasar cepu!"
Alhasil kami berbaku hantam di halaman belakang tenda. Ada cukup banyak ksatria keluarga kami disini, tetapi mereka hanya memperhatikan kami. Seolah-olah terbiasa melihat dua saudara majikan mereka berkelahi. Bawahan durhaka!
Aku menghantam wajah Klein dengan tinju membuat bocah itu terhuyung ke belakang. Ia menatapku tajam dengan mulut komat-kamit merapalkan mantra. Timbul guncangan di tempat diriku berpijak. Untaian sulur tumbuh subur melilit tubuhku hingga terangkat beberapa senti dari tanah.
Aku terpekik saat sulur itu mengetat menyelubungi tubuhku. "Klein bajingan!"
"Heh ..." Klein menyugar rambutnya ke belakang. Ia kemudian menatapku remeh dengan bibir tersenyum aneh, "Aku ini Penyihir Agung berikutnya, Betty. Sihirku berada jauh diatasmu."
"Sok!" pekikku hingga menyemburkan liur yang mengenai wajahnya. "Kau bahkan gagal masuk akademi dengan otak pas-pasanmu itu!"
Klein langsung mundur beberapa senti setelah wajahnya terkena liurku. Digosok-gosoknya wajah sok ganteng itu menggunakan lengan pakaian sambil memekik tidak jelas. "Apa yang tadi kau makan, hah?! Tai ayam?!! Air liurmu mirip bau kaus kaki Ayah!!!"
Itu sama saja dengan dia mengatakan bau kaki Ayah seperti jeroan babi, maksudku ayam! Ha! Akan kulaporkan!
Lantas, ia menatapku tajam. "Sial! Itu terjadi satu tahun yang lalu, mengapa masih kau ungkit-ungkit, hah?!"
Aku merapalkan mantra diam-diam, memunculkan sebuah kaktus yang langsung meninju wajah Klein. "Karena itu satu-satunya hal yang membuktikan bahwa kau itu bodoh!"
Klein meringis, ia memegangi hidungnya yang memerah dan mimisan. Ia mendepak tanaman kaktus yang menggantung dengan tangan yang bebas. Kakakku itu menatapku tajam dengan matanya yang memerah dan berkaca-kaca.
Klein memang hebat dalam bidang sihir, namun dia payah dalam bela diri. Dia tidak mampu menahan rasa sakit yang menyebabkan pendarahan. Aku tebak beberapa detik lagi, dia akan berlari ke dalam tenda dan memanggil nama ibu.
Dan sungguhan, dia benar-benar berlari ke dalam tenda sambil menangis dengan wajah memerah sampai ke telinga, dan meneriakkan kata, "Ibuuuu!!!"
Aku tertawa terpingkal-pingkal dalam balutan sulur tanaman. Perlahan sulur-sulur itu merenggang lalu hilang menjadi percikan debu bercahaya, karena Klein tidak lagi menggunakan sihirnya. Aku terjatuh dari ketinggian setengah meter dan langsung terduduk diatas tanah, tepat pada bagian bokong.
Sial! Perasaanku saja atau aku mendengar suara tulang yang retak. Bokongku sakit sekali, sumpah! Klein sialan!
Susah payah aku bangkit dibantu oleh beberapa ksatria keluargaku. Salah satu ksatria berambut cokelat dengan mata hijau dan janggut tipis didagu mengomeliku, Sir Kemal namanya. "Nona, Anda seorang wanita bangsawan seharusnya tidak berkelahi seperti itu dengan Tuan Klein."
KAMU SEDANG MEMBACA
SNORETT: The Devil Lady
Fantasy[Warn: 17+ | Harsh Word | Blood Scene] [Judul awal "Freedom for The Evil Lady"] Freedom series #1 Snorett McDeux of Dexter, seorang nona muda dari keluarga Grand Duke of Dexter yang sangat terpandang. Namun sayangnya hidup sebagai putri seorang Gran...