Saudara Kembar

57.8K 4.1K 83
                                        

Arshadara's POV

Hari minggu, hari di mana aku bisa beristirahat di rumah sambil menghabiskan waktu bersama kedua anakku. Bumi tengah anteng dengan boneka jerapah miliknya, sedangkan Langit masih saja menempel padaku tidak mau lepas. Saat ini aku tengah membuat adonan brownies kesukaan Bumi dan Langit, selera mereka benar-benar menurun dari Ayahnya yang memang pecinta makanan manis dan tidak suka makanan pedas, berbanding terbalik denganku.

Sebenarnya Bagas tadinya hendak mengajak aku, Lani dan anak-anak pergi berlibur ke Tangkahan. Hanya saja karena senin aku harus kembali berjualan, aku menolaknya. Terlebih aku juga sungkan karena Bagas tidak hanya pergi sendiri melainkan bersama orangtua dan saudaranya. Jangan salah, kedua orangtua Bagas sangat baik padaku dan anak-anak, hanya saja aku merasa tidak pantas diperlakukan sebaik itu, mereka bukan siapa-siapaku.

Aku mencolek sedikit adonan untuk merasakan apakah ada yang kurang atau tidak. Tangan kecil Langit masih saja anteng memelukku, walaupun dia menempel, anak itu tidak menggangu kegiatanku sama sekali. Langit dengan tenang melihat seluruh prosesnya, terkadang dia berceloteh bertanya apa yang aku campur ke dalam adonan tersebut. Anak seusia Bumi dan Langit memang sedang di usia banyak ingin tahu, maka tidak aneh jika mereka selalu bertanya 'apa' setiap kali melihat hal baru.

"Langit main dulu sama Bumi ya? Bunda mau masukin ini dulu ke oven."

Langit menggeleng. "Itut."

Bumi yang mendengar Adiknya berkata ikut, melemparkan bonekanya ke kasur dan berjalan mendekat. Sempat terjatuh, anak sulungku itu memilih untuk merangkak. "Umi itut Nda, ama Ait."

Aku hanya terkekeh, kedua anakku memang selalu kompak dalam membuat diriku kerepotan. Setelah merasakan sendiri, aku akhirnya mengerti apa yang sering dikatakan Ibu dulu soal ribetnya mengurus anak kembar. Semua pekerjaan rasanya memiliki beban dua kali lebih banyak jika memiliki anak kembar.

Aku salut pada Ibu yang tidak pernah mengeluh, Ibuku bahkan dengan enteng mengatakan semua itu sambil bercanda sehingga kupikir pada saat itu dia tidak serius mengatakannya. Padahal, jelas beban yang dipikul oleh Ibu saat itu sangat berat. Selain punya anak kembar, usiaku dan Dimas terhadap A Rifky hanya terpaut satu tahun. Bayangkan mengurus tiga anak balita bersamaan, dua saja aku sudah kewelahan.

Mengingat memori tentang Ibu membuatku sekilas menitikkan air mata. Sungguh, aku tidak sanggup kalau harus melupakan Ibu. Ibuku adalah sosok malaikat dalam hidupku, orang yang selalu menyayangiku dengan penuh kasih sayang. Bahkan, sampai saat ini aku belum pernah sekalipun melihat Ibu marah. Beliau adalah pribadi yang lembut dan penyayang, aku rasa sisi lembutku memang diturunkan dari Ibu.

Lalu Bagaimana dengan Bapaķ? Meskipun Bapak adalah sosok yang tegas dan disiplin dalam banyak hal, Aku adalah anak yang paling sering dimanja oleh Bapak. Aku ingat, saat masih kecil Bapak sering memberikan hadiah padaku setiap kali membantu Bapak memanen cengkeh atau memeras susu sapi. Tidak jarang aku juga ikut Bapak ke sawah untuk bermain sekaligus mencari belut untuk digoreng. Alhasil hal itu sering membuat A Rifky serta Dimas iri yang memang kurang dekat dengan Bapak.

Aku tersenyum tapi dengan suara terisak, tak kuasa menaham air mata yang makin banyak jatuh dari pelupuk mata saat mengingat kalimat yang sering diucapkan Bapak setiap kali aku sungkem saat Hari Raya Lebaran.

Dara anak kesayangan Bapak, Rifky sama Dimas cuma selingan. Jendra juga nggak sengaja dibuat, Bapak kecolongan.

"Astagfirullah, Bumi, Langit! Hey Ra, itu liat anakmu makanin adona-" Lani kaget melihat anak-anakku berlumuran adonan brownies, dia memicing melihat aku tengah menangis tapi juga tersenyum sambil sesekali terkekeh.

"Ra? Kamu gila?"

Dengan asal aku mengambil bantal di sisi kasur dan melemparnya ke arah Lani. "Se-se-sembarangan kamu."

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang