Pembohong

27.1K 1.7K 44
                                    

Arshadara's POV

Kupegangi perutku yang sudah sangat membesar. Terhitung hari ini, usia kandunganku sudah masuk minggu ke dua puluh delapan. Dokter memperkirakan kalau aku akan lahiran sekitar delapan minggu lagi.

Dari hasil USG, diketahui bahwa janin di dalam rahimku berjenis kelamin perempuan. Aku sungguh sangat bersyukur, karena ini sesuai dengan harapanku dan Mas Ardhi untuk mempunyai anak perempuan. Sebenarnya, kalaupun nantinya anak kami ini laki-laki kami sungguh tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Sejak usia kandunganku menginjak minggu ke enam belas, aku sudah berhenti ngidam. Hanya saja, aku selalu merasa ingin dekat dengan suamiku. Sejak awal aku hamil, Mas Ardhi jadi lebih sibuk, dia bahkan tidak pernah ada hanya untuk menemaniku USG, aku biasanya ditemani Hanifa atas permintaan A Rifky.

Aku merasa Mas Ardhi seperti menjauh, walaupun perasaan cintanya padaku tidak pernah berkurang, dia sekarang jarang sekali pulang tepat waktu. Alasannya selalu saja sama, pekerjaan. Memang, aku maklumi karena Mas Ardhi sedang sibuk membuka beberapa cabang baru. Namun, istri mana yang tidak cemburu kalau suaminya lebih mementingkan pekerjaan dari pada keluarganya sendiri. Kadang dia pulang siang hari hanya untuk mengajak anak-anak keluar tanpa mengajakku, katanya aku harus banyak beristirahat.

Kecurigaanku mulai tumbuh, satu hari aku pernah menemukannya tengah menelpon seseorang tengah malam. Saat dia sadar kalau aku tengah memperhatikannya, Mas Ardhi menutup telpon tersebut. Wajahnya nampak panik, dia buru-buru mengajakku untuk tidur lagi.

Saat ini, aku tengah menunggu suamiku pulang. Jam dinding menunjuk ke arah pukul sembilan, perasaanku tidak enak, terlebih sedari tadi anak dalam kandunganku menendang, dia merindukan Ayahnya. Entah karena lelah atau bosan, mataku terpejam dengan sendirinya.

Aku menggeleliat saat pipiku menghangat karena sebuah sentuhan, aku dapat menangkap suara lirih dari pria yang kucintai. "Maaf, Ra. Maaf."

Beringsut, mataku terbuka mendapati Mas Ardhi tengah menatapku dengan air mata menggenang di pelupuk matanya, aku menatapnya heran. "Mas? Baru sampai?"

"Iya, sayang. Kenapa tidur di sini?"

"Aku nungguin kamu, dedenya nendang terus katanya kangen Ayah. Mas kenapa nangis?" kataku menangkup pipinya lembut.

Tangan Mas Ardhi terulur mengelus perutku, dia mendekatkan wajahnya dan beberpa kali memberikan kecupan di sana. "Anak Ayah kangen?"

Aku meringis, dia menendang. "Aw..."

Mas Ardhi menatapku risau. "Kenapa Ra?"

"Dia nendang Mas."

Sendu, mata Mas Ardhi menatapku demikian. "Aku mencintai kamu Ra."

Pipiku memerah, ungkapan cintanya selalu bisa membuatku malu. "Mas ih!"

Dia menggendongku tiba-tiba. "Pegangan ke leherku."

"Mas!"

Mas Ardhi hanya tersenyum, beberapa kali dia menciumi wajahku. "Bunda tidur di kamar ya? Ayah temenin."

Aku hanya mengangguk malu, menenggelam wajahku di ceruk lehernya. Tempat paling nyaman di dunia. Seketika perasaan cemas, risau, curiga, marah, semuanya hilang begitu saja.

***

"Kamu udah kabarin Ardhi soal tanggalnya?"

Aku menggeleng saat Hanifa bertanya, aku baru saja periksa kandungan. Katanya kemungkinan besar anak ketigaku ini akan lahir lebih cepat dari prediksi awal. "Belum Han, nanti paling."

Hanifa mendesah pelan. "Ini bukan hal sepele Ra! Sekarang coba kasih tau alamat bengkel suami kamu itu, biar aku yang marahin dia. Istri lagi hamil gede malah sibuk yang lain-lain."

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang