Arshadara's POV
Melihat Pandu kemarin menangis karena takut kehilangan Ayahnya membuatku merasa sangat iba padanya, tidak ada lagi perasaan sakit ketika melihatnya berada di sekitarku. Lalu Mas Ardhi? Mencintai? Mempunyai rasa, bukan berarti aku sudah melupakan kesalahannya.
"Tante, makasih udah sembuhin Ayah."
Aku berbalik, ternyata Pandu. Anak itu menatapku dengan tersenyum, tapi dibalik itu aku bisa melihat kesedihan di mata kecilnya. Aku membalas senyumannya. "Sama-sama, Pandu jangan nangis lagi ya? Ayah kan udah sembuh."
Anak itu mengucek matanya. "Iya Tante."
"Bundaaa..."
Aku tersenyum ketika kedua putraku berlari masuk ke dalam rumah. Mereka memeluk kakiku. Kedatangan mereka diikuti Mas Ardhi yang memang menjemput keduanya dari sekolah, kebetulan hari ini Pandu tidak masuk jadi dia tidak ikut bersama mereka.
"Makan dulu?"
"Aku langsung ke bengkel kayaknya," ucap Mas Ardhi setelah menyalamiku.
Sebelum pergi Mas Ardhi memberiku arahan supaya mengikutinya. Sampai di kamar atas dia kemudian berbicara. "Pandu boleh tinggal sama kita kan?"
Aku mengeluarkan napasku pelan. "Mas, aku tetap sama pendirian awalku."
Dia nampak kecewa, mungkin semalam dia menganggap sikap lembutku sebagai arti kalau aku kembali mengalah untuknya. "Tapi kemarin malam kam-"
"Aku memang memaafkan kamu, tapi untuk lupain semua kesalahan kamu itu bukan hal yang mudah. Terlebih keberadaan Pandu itu duri dalam hidupku."
"Sayang, kamu denger sendiri kemarin Pandu ketakutan kan?" Mas Ardhi memegang kedua bahuku.
"B-bukan urusanku," kataku tak sejalan dengan isi hatiku, setelah mengatakannya aku melenggang pergi meninggalkan Mas Ardhi.
***
Sore ini mata hari terasa sangat terik, panasnya seperti membakar tubuh. Aku mengecek ke kamar putra kembarku, mereka tidak ada di kamarnya. Saat mengecek Yasmin, putriku itu tengah tertidur pulas di kasurnya.
Dari balik rumah aku melihat kedua putraku tengah asik bermain gasing. Entah apa yang membawaku, aku terpikir ke mana Pandu. Karena merasa ada yang tidak beres, aku mengecek kamar atas.
Saat sampai di atas, aku melihat lemari seperti sudah dibongkar. Barang-barang seperti tas dan sepatu anak itu juga tidak kutemukan, beberapa bajunya juga hilang entah ke mana. Khawatir anak itu melakukan yang tidak-tidak, aku berlari ke luar rumah.
"Sayang, kalian liat Pandu?"
Kedua anakku mengangguk. "Tadi pergi bawa tas, katanya mau ke rumah Ibunya."
Aku mengeluarkan napasku gusar, rasanya pikiran dan hatiku dipenuhi rasa khawatir terhadap anak itu. Begitu melihat tetangga rumahku, aku menitipkan ketiga anakku padanya. Dengan pakaian seadanya, aku memesan ojek online ke tempat yang dituju oleh Pandu.
Jarak makam Syifa dengan rumahku cukup jauh, aku tidak yakin Pandu bisa mengingat jalannya. Belum aku sampai, ditengah jalan aku menangkap sosok anak kecil yang kucari. Pandu terlihat menenteng tasnya, dia terlihat kelelahan.
Turun dari ojek, aku berlari menghampiri anak itu. Dengan penuh kesadaran aku memeluknya dengan erat. Pandu terlihat kaget, dia meminta untuk dilepaskan.
"Pandu mau ke mana? Jangan buat Tante sama Ayah khawatir," kataku sambil menangkup kedua pipi anak itu.
Dia menggeleng pelan. "Pandu mau ketemu Ibu. Pandu nggak mau kalau kehadiran Pandu cuma buat Ayah sedih."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo Rujuk!
RomanceHanya sebuah cerita pesakitan dari dua entitas berwujud manusia. Mereka adalah Arshadara Bilqis dan Khalifah Fil Ardhi, dua insan yang bersatu dalam sucinya pernikahan. Awalnya, pernikahan terasa sangat membahagiakan bagi keduanya, tapi semua beruba...