Langit

34.1K 2.3K 85
                                    

Arshadara's POV

Dari jauh aku terdiam melihat kedua putraku bermain dengan Rafi. Anak A Rifky dengan Hanifa, kebetulan Hanifa teman sebangkuku saat SMA dulu. Agak aneh kalau harus memanggilnya Teteh karena dia teman dekatku. Terlihat Bumi nampak girang bermain dengan Rafi yang berumur dua tahun di atasnya, di sisi lain walau ikut bermain Langit nampak lesu, aku tidak terlalu khawatir karena ada Jendra bersama mereka.

Saat ini aku tengah berada di kediaman orangtuaku. Dimas dan Lani baru saja melakukan akad di KUA, Bapak dan Ibu mengundang beberapa kerabat dekat untuk syukuran di rumah. Rencananya resepsi akan dilakukan nanti, menyusul anjuran pemerintah terkait pandemi.

Lani bercerita padaku katanya Dimas sudah membeli rumah untuk mereka tinggali di salah satu daerah di Bandung. Dia bilang dekat dengan Ciwidey karena kebetulan keduanya memang suka dengan suasana sejuk dan asri. Dimas juga sudah tidak bekerja lagi, dia memilih fokus dengan usahanya. Baru-baru ini aku dengar dia juga bekerja sama dengan rekannya untuk mulai jadi petani sayuran Korea.

Aku menoleh ketika merasakan bahuku dirangkul seseorang. "Aku jadi pengen deh Ra punya anak kembar."

"Eh, Han? Hehehe, kamu belum tau aja repotnya gimana," kataku sambil mengingat bagaimana repotnya diriku kalau kedua putraku itu rewel bersamaan.

"Nggak apa-apa, kan ada suami," balas Hanifa yang sekarang memandang A Rifky sambil menaik turunkan alisnya.

"Tuh, A. Istrinya minta anak kembar," kataku yang kemudian disahuti suara tawa oleh sanak saudara yang lain. Alhasil baik Hanifa dan A Rifky sudah seperti kepiting rebus karena malu.

Aku menoleh ke arah Lani yang asik memojok dengan Dimas. Dasar pegantin baru. "Mojok terus nih, masih siang, masih siang."

Candaanku dihiraukan oleh keduanya, dapat kulihat sepertinya mereka sedang serius berbicara.

Hanifa mencolek pinggangku. "Kamu bisanya nyindir orang doang. Kan Dimas udah nikah, kamu sama calon kapan nikah?"

Mataku membulat, sosok disampingku yang tadi sedang asik mengobrol dengan Bapak juga bereaksi sama. Semua orang menatap ke arah kami, kebetulan hari ini aku datang ke sini bersama Bagas.

"Kalau saya sih siap, cuma Dara katanya masih butuh waktu," Bagas berucap membuat sanak saudaraku tersenyum.

Aku menyenggol Hanifa, harusnya dari awal kuberitahu saja dia soal statusku dan perjanjian itu. Lihat sekarang, keluarga besarku malah jadi taunya Bagas itu calonku, padahal statusku masih istri orang. Di ruangan ini yang tau soal kebenarannya hanya A Rifky, Dimas dan Lani.

"Tuh Ra, calonnya udah siap. Kamu nunggu apa sih? Dokter lho itu, mau nunggu presiden? Kamu ini janda banyak maunya."

Aku mencebik, tak suka Adik Bapakku itu berkata demikian. "Maksud Mang Jalil apa ngomong gitu ke aku?"

Bapak melerai, mang Jalil juga nampak merasa tidak enak. Sepertinya dia hanya bermaksud bercanda. Namun, candaannya sungguh tidak lucu.

"Bapak ada setujunya sama omongan Pamanmu, toh kalian sama-sama sendiri. Baiknya segera menikah, nggak baik lama-lama pacaran. Kalian bukan lagi anak kemarin sore," kata Bapak sambil menepuk punggungku.

Andai saja Bapak tau. "Aku sama Bagas nggak pacaran Pak, ya Allah."

"Memangnya kenapa? Kalaupun iya Bapak juga nggak marah, hanya mau kamu ingat kalau lebih baik ya menikah. Toh, kan sama-sama matang juga, masa depan anak-anakmu juga terjamin."

Aku menggaruk tengkukku, bingung harus berkata apa.

"Kami minta doanya saja Pak."

Bukan aku, tapi Bagas. Bagas ini tipe-tipe pria idaman mertua, dia juga pandai berbicara. Sehingga membuat Bapak, Ibu dan keluarga besarku suka terhadapnya.

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang