Arshadara's POV
"Ra, aku rasa kamu harus minta maaf ke Lani soal yang tadi pagi."
Aku menoleh ke arah Mas Ardhi yang tengah fokus menatap jalanan di depan kami. Siang ini kami hendak pulang kembali ke Jakarta, setelah mendapat izin dari Bapak dan Ibu. Kejadian pagi tadi sungguh membuat perasaanku tak menentu, aku sungguh marah pada Lani yang masih saja bersikap seperti itu dan tidak mau mengert, tapi di sisi lain aku menyesal karena sudah menamparnya. Perkataan Lani setelahnya juga membuatku berpikir keras, dia mengungkit masa lalu. Sungguh memang aku berhutang nyawa padanya, tapi apa yang membuatnya berucap seperti itu? Dulu saat di Medan, dia bahkan tidak mau sedikitpun mendengar aku membicarakan hal tersebut.
"Kenapa kamu bela dia Mas? Dia menghina kamu, dia pantas mendapatkan itu," kataku tidak sejalan dengan isi hatiku yang risau.
Mas Ardhi menyampingkan mobilnya. "Kamu tau? Apa yang dibilang Lani tentang aku itu benar, dia nggak salah."
Aku menghembuskan napasku pelan. "Tapi dia belum cukup dewasa untuk berhenti menilai orang dari masa lalunya."
"Menurut kamu dia salah menilaiku? Menurutku malah benar."
Mataku memicing. "Kamu kenapa sih Mas?"
"Aku cuma nggak mau hubungan kamu sama dia rusak gara-gara aku, gimanapun juga Lani udah melindungi kalian selama ini. Aku berhutang banyak sama dia, toh yang dia katakan juga nggak salah tentang aku."
Aku mendesah pelan. "Aku nggak bisa terima dia yang terus menghina kamu Mas tanpa mau melihat usaha kamu sekarang."
Mas Ardhi mengusap lenganku. "Soal hubunganku dengan dia, lama-lama kami juga bisa akrab. Hanya butuh waktu sampai kami saling mengenal. Aku nggak merasa terhina ketika dia menghinaku, karena yang dia bilang benar adanya. Jadi, jangan sampai hanya karena aku hubungan kalian rusak. Lani sudah menyelamatkan kamu dan kedua anak kita, kalaupun dia meminta balasan nyawaku, akan aku berikan Ra. Aku sungguh nggak mau kamu membenci dia karena aku. Umpanya, aku ini penjahat dalam hidup kamu dan dia pahlawannya."
Hatiku mencelos, tergugu karena ucapan Mas Ardhi. Aku menyayangi Lani seperti halnya saudaraku sendiri. Aku lebih tau dari siapapun kalau aku berhutang banyak hal padanya. Lani yang hanya orang asing, tapi dia sudi membantuku dan menyediakan tempat bernaung untuk kedua putraku disaat orang-orang justru membuangku. Dia yang membantuku mencari uang untuk menghidupi Bumi dan Langit, dia yang menyayangi anakku seperti anaknya sendiri.
"Aku mau ketemu Lani Mas, aku mau minta maaf," kataku terisak, aku tidak sanggup menahan rasa sakit di dadaku.
"Kita ke rumah Dimas ya?"
Aku mengangguk pilu, perasaan bersalah hinggap memenuhi hatiku. Bayangan kebaikan Lani selama ini begitu saja memenuhi kepalaku. Aku sungguh lancang dan tidak tau diri memperlakukannya seperti tadi pagi.
"Untung belum masuk tol," Mas Ardhi memutar balik kendaraan kami.
***
"Apa maksud kamu?"
Aku menatap Dimas dengan penuh amarah. Dia mengatakan bahwa Lani pergi entah ke mana. Lani meninggalkan sebuah surat, di baliknya terselip juga surat gugatan cerai atas namanya terhadap Dimas.
Dimas hanya menunduk penuh rasa bersalah saat aku menanyai apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa kali aku mencoba menelpon Lani, tapi panggilanku tak kunjung terhubung, nomornya tidak aktif. Aku cemas memikirkan keadaan Lani, ke mana sebenarnya dia pergi? Dia tidak mengenal siapapun di Bandung, apa dia sedang berusaha melakukan apa yang kulakukan dulu? Sungguh, aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak mau berperan sebagai orang jahat di kehidupannya, aku sungguh menyayangi Lani bak saudaraku sendiri.
"Sebenarnya apa yang terjadi sama kalian!?"
Aku berangsut, mendekat ke arah Dimas yang memandangi isi surat tersebut. Dia hanya terdiam tak bergeming, bahkan setiap kali aku menyebut namanya dia tidak menyahut. Dengan sigap aku merebut surat itu darinya.
Mas Dimas... Aku minta maaf karena memilih pergi dengan cara seperti ini. Aku capek, aku capek kalau terus seperti ini. Aku merasa terluka, aku merasa dikhianati ketika tau kalau kamu masih menyimpan hati untuk perempuan lain. Awalnya, aku pikir dengan menjalani pernikahan ini kamu akan mulai membuka hati kamu untukku. Tapi aku salah, sejak awal kamu menikahiku, tujuan kamu adalah untuk kebaikan Dara bukan untukku. Aku bisa menerima itu Mas, karena sungguh aku juga menyayangi Dara dan ingin dia terus berada dekat dengan keluarganya. Aku capek karena terus mengalah sama kamu Mas, puncaknya saat melihat kamu dan perempuan itu bersama, kalian begitu mesra sampai aku merasa bahwa aku ini hanya benalu dalam kehidupan kamu, aku tersadar bahwa pernikahan ini bukan hal yang bisa kita jalani, aku sadar kalau bahagiamu bukan bersamaku. Hatiku seperti dikoyak ketika kamu meminta izin untuk menjadikan dia sebagai istrimu, sebagai maduku.
Aku mengusap air mata yang begitu saja jatuh dari pelupuk mataku, Mas Ardhi memeluk tubuhku mencoba menenangkan aku yang makin terisak. Lani sudah mengetahui soal Dimas dan Ghia, dia juga tau sejak awal kalau tujuan Dimas menikahinya adalah karena demi aku. Lani, dia ingin aku tetap di sini bersama keluargaku, aku menangis, kenapa aku bisa lupa kalau Lani begitu menyayangiku. Tanganku kembali membaca isi surat itu.
Hari-hariku makin terasa menyedihkan, kamu mengkhianatiku disaat cintaku begitu menggebu untukmu Mas, ditambah perasaan iriku makin menjadi melihat Dara dan suaminya bahagia. Aku salah Mas, aku membenci diriku sendiri yang tidak bahagia melihat saudariku sendiri bahagia. Aku merasa iri karena Dara bahagia tapi kenapa tidak denganku? Kenapa Dara punya banyak sekali orang yang menyayanginya termasuk diriku, tapi kenapa aku tidak bisa seperti dirinya? Disayangi banyak orang. Mas, aku ingin menyembuhkan penyakit hatiku, aku ingin melupakan kamu, melupakan Dara, melupakan semua orang yang pernah aku kenal. Tanda tangani surat perceraian itu secepatnya, aku memberi waktu kamu tiga bulan. Jangan berani mengirim pesan pada nomorku kalau bukan tentang membahas perceraian kita. Mungkin terdengar menyedihkan, tapi aku sedang mengandung anakmu Mas. Aku tidak sebaik Dara, kalau kamu berani mencariku sebelum memutuskan untuk menceraikanku, aku akan membunuh anak ini bersama dengan diriku.
Aku melempar surat tersebut ke wajah Dimas. Memukuli saudara kembarku dengan membabi buta, aku mengatainya brengsek, bajingan, semua umpatan keluar dari mulutku. Dimas sendiri masih terdiam mematung.
"Aku udah bilang sejak awal! Kalau kamu nggak mencintai dia, jangan menikahinya!"
Mas Ardhi mencoba terus menghentikan aksiku yang terus memukuli Dimas tanpa henti. Aku merasa gagal, saat Lani bersedih aku tidak ada untuknya. Padahal dulu Lani selalu ada untukku.
"Aku akan mencarinya," Dimas berucap pelan, terdengar penuh penyesalan.
"Jangan berani cari dia brengsek!"
"Lani salah, aku baru mau memulai semuanya. Dia salah paham! Lagi pula kami baru menikah 3 bulan, aku nggak mungkin menceraikan dia."
"Salah huh? Lalu apa maksudmu soal mau memperistri Ghia?"
Dimas diam, dia tidak menjawab pertanyaanku, "Jawab aku bajingan!"
"Aku tau!"
"Aku salah, aku tau itu."
"Dimas! Aku nggak perlu mendengar kalau kamu salah, itu semua jelas!"
"Aku akan mencarinya, dia pasti belum jauh," Dimas beranjak, dia pergi dengan mobilnya meninggalkan aku yang terduduk dengan segala pikiranku menyangkut Lani.
"Harusnya aku ada untuk dia Mas, seperti dia ada untukku."
Mas Ardhi memelukku, memberikan kekuatan supaya aku bisa lebih tegar menghadapi kenyataan ini, "St... Lani pasti baik-baik aja, kita pulang ya?"
POV End
***
.
Mau aku up langsung semua babnya guys? Masih ada sekitar 22 bab lagi, kalau rame komen aku up semua yaa. 22 udah termasuk ektra part.SPAM NEXT

KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo Rujuk!
RomanceHanya sebuah cerita pesakitan dari dua entitas berwujud manusia. Mereka adalah Arshadara Bilqis dan Khalifah Fil Ardhi, dua insan yang bersatu dalam sucinya pernikahan. Awalnya, pernikahan terasa sangat membahagiakan bagi keduanya, tapi semua beruba...