"Sah?"
"Sah!"
Aku tersenyum mengingat detik saat aku resmi menjadi suami dari wanita yang sangat kucintai sejak dulu, wanita yang kehadirannya selalu menjadi bunga dalam tidurku dan juga satu-satunya wanita yang membuatku jatuh ke dalam pesonanya berkali-kali meski jarak dan waktu memisahkan kami selama belasan tahun. Wanita itu bernama Dara, Arshadara, nama yang cantik bukan? Sama seperti orangnya.
"Sen, besok aku aja yang jemput Bumi sama Langit. Aku mau sekalian jenguk Hanifa."
Aku menoleh, hehe ternyata wanitaku, "Belum sembuh dia?"
Dara menggeleng, dia pergi begitu saja. Sebenarnya, terhitung hari ini kami sudah menikah selama satu bulan. Namun, Dara masih saja membentengi dirinya sendiri. Jangankan ritual malam pertama, rambut saja dia masih enggan memperlihatkannya padaku, padahal aku ini suaminya. Aku berhak dari sekedar melihat, lebih dari itu.
Setiap kali dia membangun bentengnya lebih tinggi supaya makin sulit kugapai, yang kulakukan hanya satu. Aku hanya terus berusaha memperlihatkan cintaku padanya, karena Dara pantas dicintai. Apa aku marah dia menahan diri dariku? Tidak, karena sedari awal aku sudah memantapkan hatiku meski kelak sampai matipun cintaku tidak berbalas, yang paling penting Dara bahagia di sampingku, itu sudah cukup.
"Aku libur hari ini, boleh aku ikut?" kataku menyusul Dara yang sudah hendak pergi.
Dia mendesah pelan, "Sen."
Aku mengangguk mengerti, "Yaudah, aku di rumah aja sama Yasmin."
Lama aku menunggunya pulang, Dara masih saja belum menunjukkan batang hidungnya padahal sudah lewat pukul delapan malam. Karena khawatir dan juga panggilan ponselku tak kunjung dijawab, akhirnya aku memutuskan untuk menyusul Dara ke rumah iparku dengan membawa serta Yasmin.
Sampai di sana, aku menekan bel dan mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada satupun orang menjawab. Padahal, bisa kulihat mobilku yang dipakai Dara terparkir di sini. Saat mengenggam pengangan pintu, aku sadar ternyata pintu tersebut tidak dikunci. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam sambil menggendong Yasmin.
Sayup-sayup aku mendengar suara Dara tengah menangis, "Ya, aku mencintai Mas Ardhi."
Aku tertegun, Dara masih mencintai mantan suaminya itu? Lalu kenapa dia malah menerima pinanganku? Setelah mendengar itu, aku tidak bisa mendengar lagi pembicaraan mereka karena Dara mulai bicara dengan pelan dan lirih.
Aku mendekat untuk kembali menguping, "Aku menderita bersama Arsen, aku nggak bisa."
Rasanya jantungku tengah dihujam sebilah pedang tajam. Dara masih mencintai Ardhi dan dia menderita hidup bersamaku? Tanganku mengepal, aku yang selalu berusaha memberikan cintaku padanya dia anggap apa sampai dia mengatakan kalau dirinya menderita hidup bersamaku? Aku masih terima kalau Dara masih mencintai Ardhi, tapi kalau dia menderita bersamaku, aku bisa apa? Bahkan satu-satunya jalan dan tujuanku untuk membuatnya bahagia saja terkesan mustahil, dia menderita menikah denganku.
Dengan langkah lebar aku meninggalkan kediaman iparku. Aku mulai berpikir keputusanku menikahi Dara adalah sebuah kesalahan. Kalau memang sejak awal menikah denganku itu penderitaan baginya, kenapa dia menerimaku? Sungguh aku akan tetap membahagiakan Dara meskipun dia menolak untuk menikah denganku saat itu, kebahagiaanku adalah melihatnya bahagia. Andai dia menolakku saat itu, aku masih akan terus membahagiakan dia meski bukan sebagai suaminya, tapi kenapa Dara malah memilih jalan seperti ini? Dia sungguh menyakitiku.
***
Diam, itu yang kulakukan. Aku marah, marah bukan main karena Dara memperlukanku seperti mainan. Selama seminggu ini, aku mendiamkannya. Aku tidak peduli dengan pandangan kekecewaannya yang dia tunjukkan padaku, aku yang harusnya kecewa bukan Dara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo Rujuk!
RomanceHanya sebuah cerita pesakitan dari dua entitas berwujud manusia. Mereka adalah Arshadara Bilqis dan Khalifah Fil Ardhi, dua insan yang bersatu dalam sucinya pernikahan. Awalnya, pernikahan terasa sangat membahagiakan bagi keduanya, tapi semua beruba...