Darah Daging

38.6K 2.4K 53
                                    

Arshadara's POV

"Apah! Apah, Nda!"

Aku tersenyum bahagia melihat Bumi yang berteriak antusias saat melihat seekor Jerapah sungguhan. Selama ini, dia memang sangat menyukai hewan itu. Bonekanya saja hampir semuanya berbentuk Jerapah.

Berbeda dengan Bumi, Langit hanya anteng dalam gendonganku sambil sesekali menunjuk binatang yang dia lihat dari dalam mobil. Sama sepertiku, Mas Ardhi juga nampak bahagia karena bisa melihat keduanya senang. Aku sendiri bahagia karena melihat kedua buah hatiku bahagia, bukan karena melihatnya.

Sampai di area Rusa, Mas Ardhi membuka kaca mobil dan memberi makan hewan tersebut dengan wortel yang dia borong dari pedagang dekat pintu masuk sebelumnya. Melihat rusa tersebut makan dengan lahap, Bumi ingin memberi wortel itu dengan tangannya sendiri. Putraku itu beberapa kali tertawa karena wortel ditangannya yang tentu dipegangi Mas Ardhi habis dengan cepat. Aku melihat ke arah Langit yang sepertinya juga mau melakukan hal yang sama seperti saudaranya.

"Langit mau kasih makan rusa?"

Mas Ardhi melirik padaku, dia juga melihat anak bungsuku mengangguk kecil. "Langit mau kasih makan rusa? Sini sama Ayah."

Aku mengambil Bumi. "Gantian ya sayang? Langit juga mau."

Bumi mengangguk, pengertian sekali dia pada saudaranya. Awalnya Langit nampak enggan dipangku oleh Ayahnya. Namun, begitu tangannya sudah memberi makan Rusa dengan wortel, dia malah ketagihan tidak peduli dengan siapa yang memangkunya.

"Otey abis, otey."

Langit menagih wortel pada Mas Ardhi ketika wortel ditangannya sudah habis dimakan oleh Rusa di depannya. Mas Ardhi memandangi wajah Langit dengan sayang. "Panggil Ayah sayang, nanti Ayah kasih wortel lagi."

Baru mau aku mengatakan kembali pada Mas Ardhi untuk pelan-pelan dan tidak memaksa. Sedetik setelahnya Langit malah menjerit rewel, tidak seperti biasanya. Biasanya putra bungsuku itu lebih banyak diam.

"Otey, Yah. Otey Yah."

Mas Ardhi nampak ingin menahan tangisnya. "Ini sayang, jagoan Ayah suka Rusa?"

Langit tidak menjawabnya dan hanya berteriak girang saat wortel itu kembali di makan oleh Rusa disusul Bumi yang meminta bergantian. Akhirnya dari pada rewel, aku membuka kaca mobil di sampingku dan ikut menuntun Bumi memberi makan Rusa-Rusa itu. Sesekali aku melirik ke arah Mas Ardhi yang memegangi Langit sambil sesekali menciumi pipi putraku tanpa membuat Langit yang sedang kegirangan merasa risih.

Batinku terheran, baru juga sehari. Namun, Langit sudah terlihat bisa menerima Mas Ardhi. Padahal, Langit itu termasuk anak yang 'bauan'. Contohnya, Bagas saja butuh waktu berminggu-minggu sampai Langit mau digendong olehnya. Aku tidak bisa menampik, darah lebih kental dari air.

***

Setelah safari tour, Mas Ardhi memarkirkan mobilnya, kemudian mengajak aku dan anak-anak untuk mengambil beberapa foto. Kebetulan kata Mas Ardhi, di Taman Safari ada area khusus untuk berfoto dengan hewan-hewan yang sudah jinak, dimulai dari jenis Kucing besar, Kera, Kukang dan pokoknya banyak. Dengan membayar biaya cukup terjangkau, pengunjung bisa berfoto dengan hewan-hewan tersebut secara langsung dibantu oleh petugas di sana. Rencananya setelah itu kami akan makan siang dan lanjut melihat Panda dan Panda merah yang katanya di Indonesia sendiri hanya terdapat di Taman Safari.

Beberapa kali aku melihat ke arah Langit yang anteng digendong oleh Mas Ardhi. Putra bungsuku itu terkikik ketika Ayahnya menghujamkan banyak ciuman di pipi gembulnya. Melihat Langit yang seperti itu, aku seperti melihat Bumi. Dasarnya Langit itu pendiam tidak seperti Bumi yang aktif, makannya aku aneh kenapa dalam gendongan Mas Ardhi, Langit bisa berubah seperti itu.

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang