Lani

31.7K 2K 51
                                    

Arshadara's POV

Aku menggeliat saat pintu kamarku diketuk. Kulihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. Sekitar tiga pulut empat menit sebelum adzan subuh.

"Ra, itu nak Ardhi mau ikut shalat di masjid nggak? Kalau mau Bapak tunggu."

Dengan masih sedikit mengantuk aku membangunkan Mas Ardhi yang tengah tertidur di sampingku. Badanku rasanya sakit sekali karena malam tadi tidur di bawah hanya beralaskan selimut ditambah aktivitas tambahan permintaan suamiku. Mas Ardhi tidak mau menganggu lelapnya tidur kedua putra kami karena kegiatan kami semalam, sehingga kami memutuskan untuk tidur di bawah hanya beralaskan selimut.

"Mas, bangun. Kata Bapak mau ikut sholat di masjid gak?"

Mas Ardhi menggeliat. "Mmm, enggak. Di rumah aja."

Aku mengangguk. "Mau di rumah aja katanya Pak."

"Yaudah, kamu juga siap-siap sebentar lagi adzan," sahut Bapak.

"Iya Pak."

Aku memutuskan untuk berbaring sebentar. Tatapanku tertuju pada wajah Mas Ardhi, jariku terulur mengabsen setiap bagian wajahnya. Semalam, dia menggauliku. Setelah tiga tahun, itu kembali menjadi yang pertama bagiku. Aku tersenyum mengingat bagaimana lembutnya dia memperlakukanku malam tadi, aku seperti merasa menjadi ratu dalam semalam.

Tanganku turun ke dadanya yang bidang, aku memeluknya dan menaruh wajahku di ceruk leher suamiku, di sana aku bisa membaui bau tubuhnya yang bercampur dengan wangi sabun yang dia gunakan untuk mandi tengah malam tadi selepas kami bercinta. Mas Ardhi masih setengah telanjang, beda denganku yang sudah kembali memakai baju tidurku selepas mandi besar. Dia terlihat menggeram karena sentuhanku.

"Ra, aku udah mandi junub. Jangan buat aku harus mandi lagi," Mas Ardhi berucap dengan mata terpejam.

Aku terkekeh. "Aku kan cuma peluk."

"Ada ya peluk pake ritual usap-usap dada suami?"

Mas Ardhi nampak sudah bangun, tangannya menahan satu tanganku yang sedari tadi memutar mengelus dadanya. Dia menatapku intens, ekor matanya turun melihat sesuatu di antara kedua pahanya. "Tuh kan bangun."

"Mesum!" ucapku lebih memilih mengeratkan pelukan.

"Aku? Mesum? Kamu yang sentuh-sentuh sayang," Mas Ardhi terkekeh sambil mencium keningku.

"Aku kan cuma mainin jari."

"Iya, tapi tempat maininnya salah Ra."

"Abis bulu kamu banyak."

"Aku kan laki-laki."

Obrolan tidak penting itu terus saja keluar dari mulut kami. Sampai kemudian Mas Ardhi menciumku, pelan, cukup lama. Aku bisa merasakan tangannya menarik leherku untuk memperdalam ciuman kami, dia mulai menuntut seperti tadi malam dan itu membuat aku kehabisan napas. Aku memukul dadanya pelan karena dia menolak melepaskan bibirnya dariku.

"Emh... Aku nggak bisa napas!"

"Hehehe... Payah," Mas Ardhi mencolek daguku, aku melotot padanya.

"Kalau aku payah yang jago siapa?" kataku cemburu, jadi dia bohong soal tidak tidak pernah menyentuh wanita lain setelah kutinggalkan.

"Sayang, aku bercanda," Mas Ardhi membalikkan tubuhku dan merengkuhmu ke dalam pelukannya. Demi apapun pelukannya adalah tempat ternyaman untukku bersandar.

Aku mendongkak, satu tanganku menangkup pipi Mas Ardhi. Dia tersenyum menampilkan barisan giginya yang rapi, tak luput juga lesung pipitnya yang selalu bisa membuatnya terlihat jauh lebih tampan saat tersenyum. Aku menyisir rambut pendek Mas Ardhi ke belakang, kemudian menyentuh rambut halus yang mulai ramai tumbuh di sekitar wajahnya. Mulai dari kumis, janggut dan jambangnya terlihat sudah lama belum dicukur.

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang