Duri Dalam Daging

27.8K 2K 117
                                    

Ardhi's POV

Senyumku mengembang saat dokter keluar dari ruang persalinan mengabarkan bahwa anakku lahir dalam keadaan sehat dan begitupun istriku. Kakiku terburu-buru masuk ke dalam ruangan tersebut, mataku berkaca-kaca melihat sosok kecil yang tengah menangis dalam pangkuan istriku. Aku mendekat hendak memeluk Dara, tapi yang aku dapat sungguh membuat hatiku kembali tersayat.

Dara tidak ingin kusentuh, dia menatapku dengan begitu tajam. Aku mencoba mengerti dan beralih hendak menggendong putriku. Namun, lagi-lagi Dara membuat hatiku terluka, dia menjauhkan anak kami dari sentuhanku.

"Ra, Yasmin biar aku gendong ya? Aku mau adzani dia," kataku membujuknya pelan. Yasmin, sejak sebelum istriku hamil dulu aku dan Dara memang sepakat akan memberi nama tersebut kalau diberi anak perempuan.

"Panggil Bagas," ucap istriku tanpa mau memandangku.

Aku membuang napasku pelan. "Sayang, aku mohon."

"Panggil Bagas."

Aku menggeleng, lututku rasanya bergetar karena tanah dibawahku tidak bisa lagi menopang berat badanku. Air mataku jatuh, cukup, aku mohon jangan berikan itu kepada orang lain. Aku memeluk kaki Dara. "Aku mohon, biar aku adzani anak kita ya? Aku mohon jangan minta orang lain, aku Ayahnya."

Dara menatapku tidak tega, dia menepuk pelan bahuku supaya berhenti. Tangannya terulur memberikan Yasmin ke dalam gendonganku. "Hati-hati."

Seluruh tubuhku bergetar saat kulitku bersentuhan dengan putri kecilku. Hatiku menghangat, kuamati wajahnya yang mirip sekali dengan Dara. Yasmin benar-benar replika kecil istriku, aku tidak kuasa terus menahan tangis bahagiaku. "Assalamualaikum Yasmin, ini Ayah."

Setelah mengadzani putri bungsuku, aku menimangnya. Saking bahagianya, aku sampai lupa bahwa aku punya hutang penjelasan terhadap Dara. Karena Yasmin perlu menyusu pada Ibunya, akhirnya aku memberikannya kembali ke gendongan istriku.

Kali ini Dara tidak menolak saat aku sentuh, dia fokus memberikan asi pada putri kamu. Beberapa kali tanganku mengelap dahinya yang berkeringat, aku sungguh mencintai wanitaku ini. Kukecup pipinya. "Aku akan jelasin semuanya di rumah. Satu hal, aku mau kamu percaya sama aku. Kamu harus tau, hanya ada satu perempuan yang menempati ruang di hatiku. Perempuan itu kamu Ra."

Dia melihatku sebentar dan kembali memfokuskan padangannya ke arah anak kami. "Bawa Bumi dan Langit pulang, aku nggak sudi mereka disentuh perempuan itu."

Kutarik dan kubuang napasku perlahan, aku masih perlu meluturuskan banyak hal sepertinya. "Nanti aku minta Adnan jemput mereka ya? Aku mau temenin kamu di sini dulu."

"Sekarang."

Dara tidak berteriak dengan nada tinggi, tapi ucapan datarnya mampu membuatku mengerti kalau yang tadi itu bukan sebuah permintaan melainkan perintah. "Ya udah, aku akan jemput mereka."

***

Setelah menginap di rumah sakit selama satu hari. Dara dan putriku diperbolehkan untuk pulang. Saat ini, aku tengah terduduk bersama Dara yang menatapku dengan tatapan berjuta tanya. Dia baru saja menidurkan anak-anak.

"Jelasin."

Aku mendesah pelan. "Nanti ya? Kondisi ka-"

"Kalau kamu lupa, kamu janji sama aku untuk jelasin semuanya di rumah. Lupa? Makanya jangan mengumbar janji yang sekiranya nggak bisa kamu tepati," ketusnya dengan wajah acuh padaku, Dara berdiri hendak pergi

Tanganku menahannya. "Aku akan jelasin, tapi kamu janji percaya sama aku ya?"

"Kenapa aku harus percaya sama pembohong seperti kamu?"

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang