Obat dan Racun

27.2K 1.8K 77
                                    

Arshadara's POV

Jenazah Syifa baru saja dikebumikan, tanah merah yang padat kini sudah menutupi tubuhnya. Nisannya dibasahi air hujan yang sejak tadi menemani prosesi penguburan. Aku bisa mendengar suara tangis Pandu yang sejak tadi tidak mau meninggalkan area pemakaman, anak itu terus menangis tergugu meminta Ibunya untuk kembali.

Saat ini hanya tersisa aku, Pandu dan Mas Ardhi. Suasana makam sudah sangat sepi, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara tangis Pandu dan Mas Ardhi yang terus mencoba membujuknya ditemani dentuman gemercik hujan yang menyentuh permukaan tanah. Hatiku tersentuh melihat dan mendengar suara anak itu menangis begitu pedih.

Sesampainya di rumah, Mas Ardhi membawa anak itu masuk ke dalam kamar anak-anak. Karena lelah menangis, Pandu tertidur dengan mata membengkak. Pria yang berstatus sebagai suamiku itu kemudian keluar, dia menatapku.

"Ra...."

Aku bisa menebak apa yang mau dia katakan. Apa lagi? Dia pasti ingin Pandu tinggal bersama kami. Aku bukan tidak setuju, hati kecilku memang mengasihani nasib Pandu yang begitu memilukan, tapi sebagian diriku menolak kehadiran anak itu yang selalu bisa menjadi duri dalam kehidupanku.

"Keputusanku masih sama Mas, aku atau anak itu," kataku berbalik dan hendak menjauh darinya, belum sempat aku berjalan tanganku dicekal olehnya.

"Ra, dia baru kehilangan Ibunya!"

Aku memejamkan mataku. "Iya, tapi itu bukan urusanku."

Mas Ardhi menatapku dengan tidak percaya. "Dara, aku mohon."

"Kamu hanya perlu memilih, kenapa memohon?"

"Kenapa kamu begitu keras kepala!?"

Aku? Keras kepala dia bilang? Aku menggigit pipiku dari dalam sambil menggeleng menanggapi ucapannya. "Aku begini karena kamu. Kamu pikir aku punya pilihan lain? Aku hanya ingin bahagia Mas, aku capek!"

"Ra, Pandu... Dia kehilangan Syifa, aku nggak bisa tinggalin dia."

Aku membuang mukaku, mengeyahkan segala perasaan kasihan dalam benakku. "Kalau begitu lepasin aku, mudah kan?"

***

Hari demi hari, Mas Ardhi masih saja belum memutuskan pilihannya. Makin lama, hubungan kami terasa begitu jauh. Dia ada di dekatku, tapi aku tidak bisa merasakan kehadirannya seperti dulu. Aku menolak untuk berada dekat dengannya kalau dia masih belum bisa memberiku kepastian soal pilihannya. Mengenai Pandu, dia masih tinggal bersama kami. Aku tidak pernah mengungkit soal dia yang harus keluar dari sini atau apapun itu.

Keluargaku belum tau soal kebenaran kalau Mas Ardhi punya anak dari wanita lain. Aku tidak mau membuat mereka malu untuk kali kedua. Kesannya mungkin terlihat bahwa aku sedang melindungi suamiku.

Pandu, anak itu. Sejak Ibunya meninggal dunia, dia jadi lebih banyak diam. Bahkan, setiap kali kedua putraku mengajaknya bermain sepulang sekolah anak itu memilih berdiam diri di kamar. Aku dan dia juga jarang sekali berinteraksi, beberapa kali dia sering mencuri pandang kalau aku sedang mengobrol dengan kedua putraku. Matanya memancarkan kesedihan, aku mengerti tatapan itu. Dia merindukan sosok Ibunya.

Hubunganku dengan Mas Ardhi juga tidak mengalami perkembangan apapun, dia tidak kunjung memberikanku keputusan. Padahal sejak saat aku mengetahui kebenaran soal Pandu, aku memilih menjauhinya, kami bahkan sudah pisah ranjang sekarang. Kami berdua sudah seperti orang asing yang tinggal satu atap.

Salah kalau kalian beranggapan bahwa diriku sudah tidak meniliki perasaan apapun untuk pria itu. Nyatanya aku masih menyimpan rasa untuknya, hanya saja perasaan itu kalah dengan rasa sedih, marah dan kecewaku padanya. Mas Ardhi juga bukan tidak berusaha, setiap malam kamarku selalu dipenuhi oleh bucket bunga dengan memo berisi permintaan maaf darinya.

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang