Arshadara's POV
Bertahan atau dikalahkan? Aku tidak memilih keduanya, aku tidak memilih bertahan, tapi juga tidak merasa dikalahkan saat Mas Ardhi menalakku. Detik di mana Mas Ardhi menceraikanku hatiku telah mati untuknya. Benar-benar mati, semua rasa itu tak lagi bersisa, hambar seperti air tawar. Ada pepatah mengatakan, jangan karena suatu kesalahan kamu melupakan seribu kebaikan seseorang. Namun, perkataan memang tidak semudah jalannya bukan? Lagi pula bukan hanya satu, kesalahannya padaku tidak terhitung.
Otakku tidak dibuat untuk melupakan, tapi mengingat. Melupakan seseorang yang telah memberimu banyak kenangan indah adalah hal yang sangat sulit, mustahil. Banyak hal dalam hidup ini yang tidak mau aku pikirkan, tapi tidak bisa aku lupakan dengan mudah. Ada juga hal yang tidak mau aku lanjutkan, tapi takut aku akhiri. Hidup memang rumit.
Malam tadi, Mas Ardhi pergi membawa Pandu entah kemana dengan barang-barangnya setelah menalakku dengan penuh keyakinan. Sebelum pergi dia mengatakan akan segera melayangkan surat cerai supaya kami sah bercerai secara hukum. Aku takut, bukan karena berpisah dengannya, tapi saat dia mengancam akan menggambil ketiga anakku.
Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah sudi dipisahkan dengan buah hatiku. Lebih baik mati dari pada harus berpisah dengan mereka. Separuh jiwa dan ragaku ada pada mereka, jadi bagaimana mungkin aku bisa hidup ketika cahaya hidupku diambil dariku?
Dengan pedih aku mengemasi beberapa barangku ke dalam koper. Sakit rasanya diperlakukan seperti ini, salah apa aku? Kupejamkan mataku sejenak, meredakan rasa sakit karena luka di tangan dan perutku yang sama sakitnya dengan luka di hatiku. Dengan gontai, aku membangunkan ketiga anakku, kami harus pergi dari sini.
***
"Bapak..."
Aku menatap Bapak yang terlihat kaget setelah membukakan pintu. Bapak menatapku yang sedang menggendong Yasmin ditemani si kembar di sampingku. Mata tuanya berkaca-kaca saat melihat barang bawaanku yang lumayan banyak.
"Apa lagi yang dia perbuat padamu?"
Aku menggeleng, tangisku pecah. "Aku boleh pulang kan Pak?"
Bapak menarikku ke dalam pelukannya. "Ini rumahmu, kapanpun kamu boleh pulang."
Aku mengangguk kecil, Bapak terus mengusap punggungku, membantu meredakan tangisku yang semakin lama semakin terdengar pilu. Bahuku terasa basah, Bapak juga menangis meratapi nasib putrinya.
"Cerita sama Bapak dan Ibu."
Aku menoleh, setelah menidurkan anak-anakku di kamar. Bapak dan Ibu menyuruhku untuk menjelaskan semuanya. Aku duduk dengan lemah, rasanya hari ini begitu melelahkan.
"Mas Ardhi menalak Dara."
Bapak dan Ibu tertegun, mereka melihat ke arah lenganku yang diperban. Bapak terlihat marah. "Dia melukai kamu?"
Aku menggeleng. "Ini kecelakaan Pak."
Dengan pelan aku mencoba menjelaskan semuanya sesingkat mungkin. Dari Mas Ardhi yang ternyata punya anak dari hasil hubungannya dengan Syifa dulu. Sampai kejadian hari ini di mana dia menalakku karena salah paham.
Aku bisa melihat kilatan amarah dari sorot mata Bapak, sedangkan Ibu hanya menangis menatap sendu ke araku. "Suruh bajingan itu ke sini, biar Bapak sendiri yang menghabisi dia."
"Pak," kataku lembut, aku tidak mau karena permasalahan rumah tanggaku Bapak jadi sakit. Terlebih Bapak memang punya riwayat penyakit jantung dan darah tinggi.
"Bapak seharusnya nggak kasih izin ketika tau kalian rujuk. Ini semua salah Bapak," Aku menangis, Bapak sungguh terlihat ikut tersakiti. Mas Ardhi bukan hanya menyakitiku, tapi semua orang yang kusayangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo Rujuk!
RomanceHanya sebuah cerita pesakitan dari dua entitas berwujud manusia. Mereka adalah Arshadara Bilqis dan Khalifah Fil Ardhi, dua insan yang bersatu dalam sucinya pernikahan. Awalnya, pernikahan terasa sangat membahagiakan bagi keduanya, tapi semua beruba...