Dia Kembali

61.1K 3.9K 130
                                        

Arshadara's POV

Aku tersenyum bahagia saat melihat anak-anakku tengah anteng dan begitu senang karena diajak bermain kucing oleh Jendra. Sudah seminggu terhitung sejak pertama kali aku sampai. Bumi dan Langit juga sudah akrab dengan orangtuaku, walau kadang Langit masih takut dan sering menangis kalau tidak ada aku. Saat ini di rumah hanya ada aku, kedua anakku, Jendra dan juga Bapak dan Ibu.

A Rifky kembali ke Jakarta karena keuarganya berada di sana, begitupun juga pekerjaannya. Jendra belum kembali ke kostannya di Depok karena libur semester genap dan rencananya mau mengabiskan sisa liburnya di sini. Dimas, dia pergi entah ke mana bersama Lani. Beberapa hari ini aku lihat mereka begitu akrab satu sama lain dan tak jarang pergi berdua entah ke mana. Dimas juga masih cuti jadi belum kembali ke Jakarta untuk bekerja.

Aku sebenarnya bahagia-bahagia saja kalau memang Dimas dan Lani saling menyukai. Toh, hubunganku dan Lani bisa tambah dekat kalau dia jadi iparku. Masalahnya, dari penglihatanku hanya Lani yang benar-benar menyukai Dimas, tapi sebaliknya aku ragu kalau saudaraku punya perasaan yang sama. Karena aku tau dia hanya menyukai seseorang sejak dulu, wanita yang menjadi alasan kenapa sampai di umurnya yang memasuki awal kepala tiga sepertiku, Dimas masih saja belum menikah. Aku juga tidak membahasnya takut menyinggung perasaan Lani.

"Sayur beningnya bawa ke depan Ra, bagus buat anakmu itu," ucap Ibu yang tengah mempersiapkan makan siang bersamaku. Bapak juga bantu membuat sambal, jangan salah sambal Bapak lebih enak dari buatan Ibuku.

"Iya Bu."

"Ya Allah Jendra! Itu cucu Bapak kamu apakan sampai kotor begitu bajunya?"

Aku dan Ibu terkekeh melihat Bapak memarahi Jendra karena baju Bumi dan Langit kotor oleh tanah liat yang mereka mainkan bersama Jendra dan kucing tetangga.

"Nggak apa Pak, namanya anak-anak harus berani kotor. Biar belajar banyak," balas Jendra santai, aku menggeleng menahan tawa.

"Belajar *tuur maneh!"

*dengkulmu

Aku mengamparkan samak di teras luar rumah. Sudah jadi tradisi di keluargaku setiap makan siang kami akan makan di luar rumah, entah itu di saung dekat ladang Bapak atau di teras luar. Kalau orang Bandung menyebutnya 'botram', artinya makan bersama.

Makan dengan cara seperti ini lebih nikmat, karena dilakukan bersama orang-orang yang kita sayangi. Makanan yang dibuatpun sederhana, hanya sayur bening, ayam tempe tahu goreng, nasi hangat, sambal terasi dan lalab yang wajib ada kalau memang asli Sunda.

"Nda, umi au ain uting ama on," Bumi berceloteh kalau dia masih ingin bermain kucing dengan Omnya.

(Nda, Bumi mau main kucing sama om)

"Ait uga ain uting ama on yaya," Langit ikut-ikutan. Aku terkekeh karena bukannya menyebut Jendra, Langit malah memanggilnya yaya.

(Langit juga main kucing sama om Jendra)

"Makan dulu ya sayang? Abis itu main lagi."

Aku menggendong keduanya satu persatu, membersihkan tangan keduanya dan mengganti baju kedua anakku. Setelah selesai, aku kembali membawa mereka untuk makan bersama. Kuambil sepiring nasi dan ayam goreng kemudian semangkuk kecil sayur bening.

"Kamu nggak ngambil Ra?" tanya Ibu.

"Aku ngasih makan dulu mereka Bu, repot kalau bareng."

Ibu mengerti dan mengangguk. "Kamu mau makan apa? Biar sepiring aja sama Ibu, nanti Ibu suapi."

Aku menggeleng malu, kalau begitu judulnya Ibu menyuapiku dan aku menyuapi anak-anakku, apa tidak terlihat aneh? "Malu Bu."

"Malu kenapa? Ibu kan Ibumu, apa bedanya sama kamu yang menyuapi cucu Ibu?"

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang