Menunggu

44.1K 2.7K 109
                                    

Arshadara's POV

"Saya terima nikah dan kawinnya Arshadara Bilqis binti Sakti Suganda dengan maskawin tersebut tunai."

Aku tidak pernah menyangka akan melakukan akad dengan pria yang sama yang pernah memintaku pada Bapak dan Ibu beberapa tahun silam. Ketika waktu itu aku memberikan nomor ponselku ke Mas Ardhi, dia menahanku dan kemudian memintaku untuk mengantarnya ke Dimas. Aku tidak menyangka karena niat dia adalah meminta Dimas menjadi wali nikahku, awalnya Dimas menolak rencana perjanjian ini. Namun, setelah dijelaskan, dia akhirnya setuju dengan syarat Mas Ardhi harus memenuhi dua syarat yang aku ajukan.

Seminggu setelah kejadian itu aku, anak-anak, Lani, dan Dimas kembali ke Jakarta untuk melakukan akad, karena pernikahan aku dan Mas Ardhi masih terdaftar di KUA, jadi kami melakukan akad secara agama saja, toh hanya untuk menghilangkan keragu-raguan. Lagi pula pada akhirnya kami akan bercerai juga, tujuanku sih begitu.

Aku beralasan pada Bapak dan Ibu bahwa aku akan menetap di Jakarta untuk membuka usaha. Dimas duduk sebagai wali nikahku, karena aku memang ingin merahasiakan semua ini dari Bapak dan Ibu. Yang mengetahui tentang perjanjian ini hanya aku, Mas Ardhi, Lani, ketiga saudaraku, sisanya saudara jauh yang kami anggap bisa jaga rahasia.

Setelah akad selesai aku ikut dengan Mas Ardhi sesuai dengan perjanjian yang sudah kami buat. Saat aku membawa kedua anakku ke dalam mobilnya, Mas Ardhi tak henti mengulum senyum. Tentu saja kedua anakku juga ikut, Bumi dan Langit sempat menatap aneh wajah Mas Ardhi yang memang sangat mirip dengan mereka berdua. Terlebih Langit, yang juga mewarisi lesung pipit Ayahnya.

Sebelum meninggalkan aku yang ikut ke dalam mobil Mas Ardhi. Dimas mengancam akan membunuh pria berstatus suamiku itu, kalau dia berani melakukan sesuatu padaku. Mas Ardhi hanya cuek bebek, matanya fokus melihat ke arah Bumi dan Langit.

Mas Ardhi mengambil kedua putraku dari pangkuanku begitu saja, reaksi keduanya nampak berbeda. Saat ini, Mas Ardhi tengah sibuk menciumi kedua anakku dalam gendongannya. Aku bisa melihat pria itu menangis sendu sambil terus berucap maaf pada kedua jagoan kecilku. Bumi yang dasarnya bukan pemalu, memukul setir mobil meminta Mas Ardhi untuk mengendarainya sedangkan Langit menjerit minta dilepaskan karena takut dengan Mas Ardhi.

"Jagoan Ayah kenapa? Ini Ayah sayang," bukannya dilepaskan Mas Ardhi malah makin menciumi Langit dengan gemas.

"Langit biar sama aku Mas, jangan dipaksa. Pelan-pelan, dia butuh waktu."

Mas Ardhi mendongkak, dia tersenyum padaku. "Makasih Ra."

Aku mengernyit. "Untuk?"

"Karena kamu udah kasih aku dua jagoan kecil yang lucu. Makasih karena melahirkan dan membesarkan mereka dengan baik."

Aku memalingkan wajahku. "Aku menyayangi mereka lebih dari apapun, jangan berterimakasih."

Dari balik kaca aku bisa melihat Mas Ardhi mengangguk, dia memberikan Langit ke pangkuanku setelah sebelumnya mencium pipi anak bungsuku itu. "Langit sama Bunda ya? Bumi sama Ayah."

***

"Bukan Om sayang, A-y-ah."

"On Yah?"

Aku tertawa saat mendengar Mas Ardhi yang berusaha mengajari Bumi supaya memanggilnya Ayah. Alih-alih Ayah, yang keluar dari bibir Bumi malah 'Om Ayah' dan terdengar menggelikan di telingaku. Langit sendiri masih anteng bertengger dalam gendonganku sambil sesekali menunjuk ke arah mobil dan motor dari balik kaca, saat aku bertanya apa dia mau bermain bersama Bumi dia menggeleng dan mengatakan 'atut'.

Setelah hampir satu jam perjalanan akhirnya mobil Mas Ardhi terlihat memasuki sebuah pekarangan rumah yang asing bagiku. Ini bukan rumah lama yang dulu kami sewa, rumah ini terlihat seperti baru saja dicat. Rumah dengan desain modern minimalis.

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang