Jatuh Hati

48.9K 3.3K 78
                                    

Arshadara's POV

"Hah? Terus usaha kita di Medan gimana?"

Aku cukup kaget ketika Lani tiba-tiba menyarankan supaya kami menetap saja di Bandung selamanya. Padahal sebelum ke sini kami sepakat akan pulang setelah hari raya lebaran.

Sepertinya dugaanku benar, Lani ada apa-apa dengan Dimas. Terlihat jelas, setiap hari mereka pergi berdua entah ke mana. Pasti alasan Lani ingin tinggal di sini juga karena Dimas.

"I-itu nggak penting, yang penting kamu dan ponakanku bisa bahagia di sini. Aku bahagia bisa liat Bumi dan Langit ketawa setiap hari."

Aku menatap Lani curiga. "Kamu yakin hanya itu alasannya?"

Lani menunduk dia nampak malu menyembunyikan semburat merah di pipinya. "M-mana ada!"

Mataku memicing, jelas ada udang di balik batu. "Sebenarnya apa hubungan kamu sama saudaraku Lan?"

Lani terlihat kaget, ekor matanya menatap ke samping. "Jendra? Aku menganggap dia Adikku."

Bohong, terlihat jelas wajah Lani memerah seperti tomat. Aku bukan orang yang mengenalnya sebulan dua bulan. Ini pertama kalinya Lani malu ditanya perihal masalah pria, biasanya dia cuek bebek.

"Jangan pura-pura nggak tau, maksud aku Dimas. Siapa lagi?"

Benar saja, saat aku menyebut nama Dimas dia makin terlihat malu. Ya ampun sebenarnya sudah sejauh mana mereka. "Kamu ngapain aja sama dia?"

"Nggak ada, d-dia cuma, em. Dia, dia melamarku kemarin Ra."

Aku terperangah membulatkan mataku, secepat itu? Melamar dia bilang? "Kamu serius? Lalu kam-"

"Aku menerimanya," Lani memotong pertanyaanku.

Mataku terpejam, aku menggelengkan kepalaku tidak percaya kalau Lani bisa semudah itu menerima Dimas. Padahal di Medan sana dia terkenal galak dan selalu menolak lamaran pria terhadapnya, aku akui Lani memang cantik. "Kamu menyukai Dimas?"

"Bukan suka, aku mencintainya."

Aku menggeleng makin tidak percaya, belum tepat seminggu kami di sini dan dia sudah jatuh cinta katanya? Aku bukan mau melarang, ingat bahwa aku dulu aku di lamar oleh Mas Ardhi juga dadakan. Kami baru dua kali bertemu, pertama saat dia menginap di rumahku ketika masih kuliah dan kemudian kembali bertemu lima tahun setelahnya saat dia melamarku secara mendadakan, bodohnya aku menerima dia. Lihatlah sekarang bagaimana hubungan kami. Sama sekali tidak bisa dikatakan baik. Aku tidak mau semua itu terjadi pada Dimas maupun Lani, setidaknya aku ingin mereka saling mengenal dulu.

"Lan, aku bukan mau melarang kamu. Coba pikir lagi, bukannya ini terlalu terburu-buru?" kataku sambil menghela napas, jangan mau dibutakan oleh cinta. Semua itu semu, hanya manis di awal.

Lani menatapku, dia berucap sinis, "Kamu nggak suka kalau aku jadi iparmu?"

"Bukan begitu, aku ingin kalian saling mengenal dulu," Lani benar-benar sudah dibodohi oleh yang namanya cinta, sampai tidak mau mencerna ucapanku baik-baik.

"Kami saling mengenal, dia baik. Aku belum pernah merasa disayangi seperti ini sebelumnya, apa aku salah menerima dia?" Lani sewot, tangannya bersedekap di dada.

"Kamu sungguh mencintai Dimas? Lalu apa kamu merasa saudaraku itu punya perasaan yang sama?"

Lani terlihat lara. "Aku mencintainya Ra, sangat. Dia bilang, dia akan berusaha mencintaiku kalau aku mau menikah dengannya."

Benar dugaanku, Dimas memang tidak mencintai Lani. Andai Lani tau tentang Ghia, apa dia masih mau menerima Dimas? Kembaranku itu sangat mencintai Ghia, sampai-sampai dia rela tidak menikah di umurnya yang sudah menginjak tiga puluh tahun sama sepertiku. Aku tidak sampai hati untuk menceritakan semua itu, bukan porsiku. Biar Dimas yang nanti menjelaskannya sendiri, memang harus dia yang mengatakannya.

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang