Perjanjian

49.4K 3.3K 134
                                        

Ardhi's POV

Wajah itu, aku tidak mungkin tidak mengenalinya. Wajah istriku yang selama ini tidak pernah hadir walau hanya dalam mimpiku, seakan semesta sendiri yang mau menghukumku dan tidak membiarkan aku bertemu dengannya barang hanya dalam mimpi. Matanya yang ayu, bulu mata yang indah nan lentik, hidung dan bibirnya yang kecil, pipinya yang kembu. Dia benar-benae Dara, dia istriku.

Dara terdiam saat tadi aku memanggil namanya, aku sudah tidak peduli dengan panas kopi di kaosku yang membuat kulitku sepertinya melepuh. Pandanganku terus mengunci manik Dara, aku tidak percaya bahwa aku akan bertemu dengannya di sini. Semua terasa seperti mimpi, mimpi yang begitu indah.

Aku diam, aku tidak tau apa yang harus kukatakan terlebih dulu. Banyak sekali yang ingin kukatakan, aku ingin meminta maafnya, aku ingin mengatakan bahwa aku merindukannya, aku ingin mengatakan bahwa aku masih sangat begitu mencintainya. Aku tidak tau harus mulai dari mana.

Sebuah dorongan yang cukup kuat membuatku tersungkur, Dara berteriak.

"Bajingan, kenapa lo di sini!?"

Itu Dimas, setelah membuatku tersungkur dia meninju wajahku. Biasanya aku tidak melawan, kali ini aku memukul balik Dimas membuatnya meringis dan membalas kembali pukulanku. Aku tidak ingin terlihat lemah di depan Dara, setidaknya aku sudah cukup mengalah dan menjadi samsak tinju untuk Dimas dan Rifky selama ini. Kami terus adu jotos sampai kemudian Dara mengguyurkan ember berisi air yang entah didapatnya dari mana.

"Berhenti! Astagfirullah, kalian anak kecil? Malu sama badan! Nggak malu diliat orang banyak? Sadar!"

Aku melepas peganganku pada kerah kemeja Dimas yang sudah basah sama sepertiku. Dimas berdiri, dia bangun dan langsung menarik tangan Dara pergi. Aku mengejar, kemudian menahan tangan Dara yang lain.

"Jangan bawa pergi istri gue!"

Dimas berdecak. "Istri? Ngaca!"

Aku tidak menggubris Dimas, kini manik mataku menatap intens ke arah Dara. Kata pertama setelah tiga tahun berpisah akhirnya terucap dari bibirku begitu saja. "Sayang, kita perlu bicara."

Plak...

Aku terperanjat, kemudian melotot marah pada orang yang sudah menamparku. Bukan Dimas maupun Dara, tapi wanita yang entah siapa berdiri bersama mereka. Wanita itu kembali menampar pipi kiriku, anehnya dia terlihat menangis.

"Anda siapa? Jangan ikut campur urusan kami! Saya perlu meluruskan banyak hal dan menjelaskan semuanya pada istri saya!"

Wanita itu mendongkak, menatapku benci. "Aku siapa?"

"Lan udah, kita pulang ya? Ayo, udah," Dara terlihat memegangi bahu wanita tersebut namun ditepis begitu saja.

"Berhenti Ra, si brengsek ini harus tau apa yang dia perbuat sungguh bukan hal sepele."

Aku mengernyit, bicara apa dia?

"Kamu tadi bertanya siapa aku? Aku adalah orang yang menyelamatkan Dara ketika dia sekarat karena melahirkan kedua anaknya!" Wanita itu memukulku sampai terjatuh, tubuhku menegang. Ekor mataku menatap Dara penuh tanya, kedua anak? Apa Dara melahirkan anak kembar? Lalu sekarat? Apa maksudnya? Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku, benar kata Banyu aku akan kaget sampai ingin mati.

"Aku orang yang memberi mereka tempat bernaung ketika semua orang yang Dara sayangi membuangnya seperti seonggok sampah!" Aku menunduk, membiarkan wanita itu terus memukulku, sekilas aku bisa melihat wajah sesal Dimas saat wanita itu menyinggung perlakuan orang terdekat Dara. Aku merasa pantas dipukuli, wanita ini telah membuat istriku bangun dari keterpurukan. Sederhananya aku penjahat dalam hidup Dara dan wanita ini pahlawannya.

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang