Arshadara's POV
Hakim mengetukan palu sebanyak tiga kali. Hal itu menandakan kalau sidang perceraianku dengan Mas Ardhi sudah selesai. Putusan menunjukkan bahwa aku resmi sudah tidak lagi menyandang status sebagai istri Mas Ardhi, baik secara hukum maupun agama.
Hak asuh ketiga anakku jatuh ke tanganku, sedari awal memang pihak pengacara Mas Ardhi tidak mengungkit soal hak asuh. Sejak persidangan awal sampai putusan hari ini, mantan suamiku itu tidak pernah mengikuti persidangan sama sekali, dia hanya diwakili oleh pengacaranya.
Janda, itulah statusku saat ini. Benar-benar seorang janda, bukan janda bodong yang statusnya dibilang istri bukan tapi janda juga bukan. Ada perasaan lega di hatiku, aku merasa beban tak terlihat yang selama ini kupinggul hilang saat hakim menyetujui gugatan Mas Ardhi terhadapku.
Betul, aku membiarkan dirinya yang menggugatku. Tahu kenapa? Karena aku masih menghargainya sebagai Ayah dari anak-anakku. Ada budaya di lingkungan masyarakat tempatku tinggal, katanya jika ada perceraian lalu pihak tergugat adalah pria, maka itu sama saja dengan harga dirinya tengah dibeli oleh mantan istrinya.
Keluar dari ruangan sidang, pengacara Mas Ardhi menahanku. Pria itu mengatakan bahwa dia meminta waktuku sebentar untuk ikut dengannya. Aku menyetujui, tentu dengan ditemani Bapak yang mengantarku ke pengadilan sejak pagi kemarin, beliau sampai rela menginap di hotel karena sidang perceraianku dilakukan di pengadilan agama Kota Jakarta.
Tadinya kupikir akan ke mana pengacara ini membawaku, ternyata dia membawaku ke rumah Mas Ardhi. Saat masuk, isi rumah ini masih sama dengan terakhir kali aku pergi beberapa waktu lalu. Mataku menelisik mencoba mencari keberadaan mantan suamiku itu, tapi nihil. Batang hidungnya sama sekali tidak terlihat.
Kami akhirnya duduk di meja, pengacara itu mengeluarkan sebuah berkas, tepatnya surat kepemilikan tanah dan sertifikat rumah.
"Client saya menghibahkan rumah dan satu unit apartmen beserta isinya kepada Anda. Dia berpesan supaya Anda mau menerimanya untuk kebaikan anak-anak kalian, hibah ini di luar pemberian nafkah beliau untuk anaknya. Jadi Anda jangan khawatir, client saya akan tetap memberikan nafkah sesuai arahan dan putusan pengadilan setiap bulannya sampai mereka lulus kuliah."
Aku menatap pria di depanku tidak percaya, kalau aku tinggal di sini ke mana mantan suamiku itu tinggal?
"Berdasarkan amanah yang saya terima, untuk pengiriman nafkah bulanan nanti akan diwakilkan kepada Pak Banyu."
Aku memotong pembicaraan pengacara Mas Ardhi. "Maksud Bapak bagaimana? Kenapa bukan Mas Ardhi langsung yang kasih ke saya?"
Pengacara itu mengangguk. "Itu bukan porsi saya untuk bicara, nanti Anda bisa tanyakan sendiri ke Pak Banyu untuk alasan personalnya. Saya hanya bisa katakan kalau client saya dalam keadan sehat dan baik-baik saja."
Singkatnya setelah menjelaskan semuanya, pengacara itu pamit. Sedangkan aku hanya terdiam mencoba meresapi apa sebenarnya maksud dari Mas Ardhi melakukan ini. Kalian tau? Dia bahkan sampai menyiapkan kado ulang tahun untuk ketiga anakku setiap tahunnya sampai mereka berumur delapan belas tahun, setiap kado itu disertai sepucuk surat di dalamnya. Semua kado itu dia simpan dan tertata rapih di kamarku.
"Kamu mau tinggal di sini?" ucap Bapak memegang bahuku, aku menoleh tapi tidak menjawab pertanyaannya.
"Menurut Bapak, kamu memang lebih baik tinggal di sini. Toh, sekolah anakmu juga di sini."
Aku bergumam tidak jelas. "Dara cuma nggak habis pikir sama Mas Ardhi Pak."
Aku kembali berbicara. "Dara bilang jangan datang dihadapan Dara, bukan berarti Dara melarang dia ketemu anak-anak. Bapak liat sendiri itu," kataku menunjuk ke arah dua buah sepeda roda dua dengan keterangan 'Kado ulang tahun Bumi dan Langit saat umur sembilan tahun'.
"Belum lagi yang itu, terus itu, itu, apa dia nggak mikir?" lanjutku menunjuk kado-kado lainnya.
Bapak diam tidak menjawab.
Aku kembali berucap, Mas Ardhi sungguh membuatku kesal. "Itu semua buat apa coba, dia pikir anak-anak bakal merasa cukup hanya dengan kado? Aku nggak habis pikir sama dia Pak, apa ini cara dia balas aku karena aku keukeuh mau cerai?"
"Mas Ardhi keterlaluan Pak, sanggup ya dia berpikir untuk tinggalin anak-anak."
***
"Masuk Gas, Nay."
Hari ini si kembar ingin bertemu Papanya. Aku sebenarnya agak sungkan meminta Bagas untuk datang, terlebih Naya juga sedang mengandung. Namun, satu-satunya pelipur lara bagi anak-anakku setelah Mas Ardhi menghilang entah ke mana hanya Bagas, beruntung baik Bagas dan Naya juga tidak pernah keberatan dengan permintaan kedua putraku itu.
"Papa! Mama Nay!"
Aku meringis ngeri ketika Bumi dan Langit menghamburkan diri mereka ke arah Naya yang perutnya sudah sangat besar. "Bumi! Langit! Bunda bilang apa tadi? Jangan motah, Mama Nay lagi hamil."
Bukannya memarahi anak-anakku, Bagas dan Naya malah ikut tertawa melihat aku yang marah-marah sambil menggendong Yasmin dan masih menggunakan celemek. Jangan salah, walau janda beranak tiga aku ini tetap termasuk golongan Ibu-Ibu produktif yang jago multi-tasking.
Beberapa waktu berlalu setalah aku resmi bercerai dengan Mas Ardhi. Hubunganku dengan orang-orang terdekatku mulai kembali seperti dulu. Bagas dan Naya sudah seperti orangtua kedua bagi anak-anakku terutama si kembar. Lalu ada juga kabar dari Medan sana di mana saat ini Lani juga sudah sering face cam denganku, hubungannya dengan Dimas membaik, rencananya mereka akan kembali ke Bandung setelah Lani melahirkan dan anak mereka cukup umur.
Lau siapa lagi ya, Arsen mungkin? Ah iya pria itu. Aku tidak bisa menyembunyikannya, setelah tau aku sudah resmi bercerai dengan Mas Ardhi, Arsen seperti gencar mengejarku. Terlebih setiap kali berkunjung ke Jakarta, dia selalu menyempatkan dirinya datang ke sini. Katanya ingin mencuri hati ketiga anakku, kalau Yasmin sih sudah dekat dengannya, tapi si kembar justru malah takut. Katanya Arsen mirip preman di TV karena perawakannya yang tinggi besar seperti Dimas. Apa aku membuka hati untuknya? Saat ini belum, aku masih bahagia walaupun sendiri. Jadi untuk apa mengambil resiko kalau sendiri saja aku sudah bahagia?
"Ra, kamu nggak ada niatan buat nikah lagi?"
Aku menoleh, ternyata Bagas yang bertanya. Kami sudah berada di ruang tamu, berbincang sekaligus melihat si kembar yang sedang kegirangan bermain balon yang dibelikan oleh Bagas dan Naya. "Aku bahagia seperti ini."
"Anak-anak?"
"Mereka bahagia, ada aku, kamu dan Naya," kataku yakin, walau sebenarnya jujur saja terkadang aku selalu merasa sedih kalau mereka bercerita tentang teman-temannya yang diajak main ke sana ke sini oleh Ayahnya.
"Kayaknya Arsen baik Ra," kali ini Naya yang berbunyi, suami-istri ini memang paling jago dalam hal menjodohkan-jodohkan.
"Bumi sama Langit nggak cocok sama dia," kataku beralasann, tidak rasional sama sekali.
Bagas melirik sebuah bingkai foto yang memperlihatkan Mas Ardhi tengan menggendong si kembar. "Kamu masih nyimpen foto-foto dia?"
"Ini rumah dia, aku nggak berhak buang barang dia kan? Lagian cuma foto-foto itu yang bisa bikin anak-anak terus ingat sama Ayahnya. Aku pisah sama dia, tapi bukan berarti dia bukan lagi Ayah dari anak-anakku kan?" kataku menghardikkan kedua bahu.
Bagas mengangguk kecil. "Semoga kamu cepet nikah lagi deh."
Aku hanya memutar kedua bola mataku malas. "Ke situ mulu, gak suaminya gak istrinya. Tiap ke sini nyuruh nikah terus, hadeuh pusing."
Kami bertiga tertawa bersama, di sela-sela tawaku aku kembali melirik bingkai foto di belakangku. Sudut bibirku tertarik ke atas melihat bagaimana aku pernah bahagia bersama seorang pria.
Aku bahagia sekarang Mas, di mana pun kamu berada saai ini. Aku harap kamu juga bahagia.
POV End
***
Ke mana kira-kira si Ardhi minggat?

KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo Rujuk!
RomansaHanya sebuah cerita pesakitan dari dua entitas berwujud manusia. Mereka adalah Arshadara Bilqis dan Khalifah Fil Ardhi, dua insan yang bersatu dalam sucinya pernikahan. Awalnya, pernikahan terasa sangat membahagiakan bagi keduanya, tapi semua beruba...