Posisi yang Sulit

27.6K 1.8K 164
                                    

Ardhi's POV

Katakan aku brengsek, aku setuju dengan hal itu. Aku hanya manusia rendahan, aku telah gagal menjadi suami yang baik untuk Dara dan Ayah bagi anak-anakku. Selama ini aku bukan hanya menelantarkan si kembar, tapi juga anakku yang lain, yaitu Pandu. Dia adalah anak hasil hubunganku dengan Syifa dulu, anak kandungku.

Kalian mungkin berpikir aku kembali selingkuh dengan Syifa, tapi kalian salah. Hubunganku dengannya hanya sebatas orangtua kandung Pandu, tidak lebih. Pandu sangat membutuhkan perhatianku, terlebih saat ini Syifa tengah dalam kondisi yang tidak bisa dikatakan sehat sama sekali.

Syifa juga tidak berusaha untuk mendekatiku, aku yang memaksa dia supaya memberikanku izin ikut merawat Pandu. Saat pertama kali bertemu kembali dengannya di bengkel hari itu, Syifa kabur dariku dan dia berasalan tidak mau menggangu rumah tanggaku dengan Dara karena adanya Pandu. Tentu aku tidak bisa melakukan itu, Pandu anakku sama halnya dengan Bumi dan Langit serta janin yang saat ini tumbuh di rahim Dara.

Aku dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama bahagia dengan keluarga kecilku bersama Dara. Pilihan kedua membawa masuk Pandu dalam kehidupan kami, yang kuyakini istriku itu tidak akan mau dan nantinya malah meninggalkan aku. Serakah, aku tidak bisa memilih antara keduanya. Aku sangat mencintai Dara, tapi hatiku menolak bahagia kalau harus membuang darah dagingku sendiri. Di sisi lain, aku tidak mau Dara mengetahui keberadaan Pandu, aku takut dia akan meninggalkan aku lagi.

Satu malam aku menemukan Dara tengah tertidur di atas sofa ruang tamu rumah kami. Tangannya berada di atas perutnya yang sudah begitu besar. Melihat Dara seperti itu amat membuat hatiku dipenuhi rasa bersalah, dadaku rasanya sesak. Aku hanya bisa terisak sampai membuat istriku itu bangun, kata maaf saja tidak akan cukup untuk menebus kesalahanku padanya. Sejak aku mengetahui kebenaran tentang Pandu, aku seperti menomor duakan dia dan janin dalam kandungannya.

Kekhawatiranku bertambah, satu siang Dara menelponku. Cintaku itu bertanya, aku sedang berada di mana. Tentu saat itu aku sedang mengajak Pandu keluar, tapi aku berbohong pada Dara bahwa aku sedang di bengkel. Walau pelan, aku bisa mendengar dia terisak dari ujung panggilan di sana. Saat itu aku takut Dara mengetahui apa yang sedang aku lakukan.

Setiap hari aku pulang malam karena harus menemani Pandu. Aku tidak tega melihat anakku dititipkan pada orang lain karena Syifa harus menjalani rawat inap. Aku tidak pernah berandai untuk berada di posisi serumit ini, aku sangat mencintai Dara, tapi di sisi lain aku tidak bisa meninggalkan anak kandungku sendiri begitu saja, Pandu membutuhkanku.

Hari, demi hari hubunganku dengan Dara makin melebar. Istriku tercinta bahkan sudah tidak sudi lagi seranjang denganku, Dara terkadang sengaja pindah ke kamar anak-anak untuk menghindariku. Beruntung, Dara tipe orang yang sulit untuk bangun, setiap kali dia sudah tertidur aku mengendap masuk ke kamar. Menangis sambil menyesali perbuatanku kepadanya sambil terus bergumam kata maaf kepadanya dan juga janin dalam kandungannya di saat Dara lelap dalam tidurnya.

Aku sangat bahagia saat Dara mengatakan bahwa dia tengah mengandung anak perempuan, seperti impian kami berdua. Kebahagiaan yang tak ternilai dengan apapun. Anak perempuan itu akan melengkapi kebahagiaanku dengan Dara, tapi bagaimana dengan Pandu? Pertanyaan itu selalu saja berputar di kepalaku, aku tidak bisa bahagia kalau harus menelantarkan putraku sendiri.

Dara memang belum tau soal keberadaan Pandu. Aku belum berani mengatakannya, aku takut. Takut Dara akan memilih kembali pergi dan membuatku gila seperti dulu. Biarlah ini menjadi rahasiaku, aku bersumpah akan membahagiakan istri dan anak-anakku, termasuk Pandu.

Perlahan, aku juga mulai mengenalkan Bumi dan Langit kepada saudara mereka. Dari apa yang dikatakan Syifa, Pandu lahir dua bulan setelah putra kembarku, jadi bisa dikatakan mereka seumuran dan Pandu adalah bungsu. Ketiganya begitu mudah bercengkrama, tanpa sepengetahuan Dara aku juga memasukan Pandu ke TK yang sama dengan si kembar Bumi dan Langit. Aku ingin anak-anakku akur satu sama lain karena mereka bersaudara dan memiliki darah yang sama.

Aku bersyukur Bumi dan Langit sangat pintar menjaga rahasia. Aku meminta mereka merahasiakan soal keberadaan Pandu dari istriku. Kalaupun mereka bercerita yang kudengar keduanya menceritakan Pandu pada Dara sebagai teman baru mereka.

Hari ini, seperti biasa aku akan mengajak Bumi dan Langit untuk bermain bersama Pandu. Kebetulan, hari ini Syifa juga memaksa untuk ikut. Dia bilang kondisinya sudah lebih enak, aku mau tidak mau mengikuti kemauannya karena dia mengancam tidak akan memperbolehkan Pandu ikut jika dia tidak diajak.

Sebelum pergi aku sempat mencuri pandangan ke arah Dara yang terlihat begitu sulit menuruni anak tangga. Karena tidak tahan akhirnya berniat membantunya, tapi dia menolakku. Sungguh Dara melukai hatiku, aku tidak bisa menyalahkannya. Salahku karena selama dia hamil aku jarang sekali berada di sisinya, bahkan untuk menemaninya cek kandunganpun aku tidak pernah sana sekali, hanya sekali saat kami pulang dari Lombok berbulan-bulan lalu.

Akhirnya dari pada nantinya ribut, aku memilih untuk membawa anak-anak pergi dengan segera. Mereka begitu antusias begitu aku sampai di rumah Syifa, menjemput wanita itu dan Pandu yang rencananya hari ini akan kuajak menghabiskan waktu seharian. Brengsek? Memang, disaat istriku hamil besar aku malah berkeliaran seperti ini. Namun, kalian tidak tau bagaimana rumitnya posisiku, Dara masih punya banyak orang yang menyayanginya sedangkan Pandu anakku tidak punya siapapun selain Syifa dan Aku. Aku bisa setidaknya menitipkan Dara pada orang-orang yang menyayanginya sementara.

Walau aku merasa bahagia melihat anak-anakku tertawa dengan riang, tapi pikiranku tetap saja tertuju pada Dara yang sedang berada di rumah sendirian. Aku takut terjadi apa-apa padanya.

Rasa bahagiaku hilang begitu saja saat melihat Dara tengah tertawa bersama seorang pria yang kukenali. Dara tertawa bersama Bagas, hatiku memanas melihatnya. Dengan penuh amarah, aku memukul wajah Bagas sekencang mungkin sampai membuatnya tersungkur.

Aku melihat tajam ke arah wanitaku dan mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak pernah aku katakan. Mulutku dengan lancang mengatainya murahan, karena rasa cemburu memenuhi hati dan pikiranku. Dara menangis, dia marah dan mengatakan apa yang dia ketahui tentang kebohonganku, dia bahkan sampai menampar pipiku karenanya.

Aku jelas panik, takut Dara berpikir yang tidak-tidak. Beberapa kali aku mencoba membujuknya supaya mau mendengarkan kenapa aku berbohong tentang pergi ke bengkel. Namun, dia tidak menggubris ucapanku sedikitpun dan malah mencecarku dengan dugaan-dugaan yang sama sekali tidak benar.

Begitu sialnya aku, si kembar memanggil Bundanya. Otomatis Dara menoleh ke arah mereka yang sedang dituntun oleh Syifa yang juga menuntun Pandu. Sorot kekecewaan dapat aku artikan dalam pandangan Dara kepadaku saat dia melihat dengan seksama wajah Pandu, dia menangis dan mengataiku iblis. Aku terus mencoba membujuknya, tapi nihil dia tidak mau mendengarkanku sampai kemudian wajahku dibuat memar oleh sebuah pukulan dari Bagas.

Kaget, bukan karena pukulan Bagas. Melainkan saat darah mengucur mengaliri paha istriku. Aku dengan sigap berusaha menggendongnya, Dara akan segera melahirkan

Emosiku makin tersulut saat Dara justru meminta Bagas menggendongnya dan membawa dia ke rumah sakit, padahal ada aku suaminya di sini. Saat kucekal tangan pria itu, Dara meneriakiku hendak membunuh anak kami dalam kandungannya. Akhirnya dengan berat hati aku merelakan Dara digendong oleh pria itu.

Kekecewaanku bukan hanya sampai disitu. Saat memasuki ruang persalinan Dara mengusirku, dia tidak ingin aku menemaninya berjuang demi melahirkan putri kami. Bahkan, ketika aku menangis memohon padanya supaya dia mengizinkanku untuk berada di sisinya dia tetap tidak mau. Dara membuatku mengingkari janjiku untuk menemani dirinya saat beradu nyawa melahirkan anak kami.

Kegelisahan memenuhi hatiku saat menunggunya di dalam sana sendirian. Aku tak henti menangis, kalut dan takut akan terjadi sesuatu pada keduanya. Andai bisa kugantikan Dara yang tengah berjuang di sana, sungguh aku rela.

POV End

***

Sungguh aku rela kayak lirik lagu ya, judulnya apa sih wkwkwk. Maaf typo bertebaran.

Rem dulu ya guys, sepi 😭

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang