Pertengkaran

35K 2.4K 70
                                    

Arshadara's POV

Pagi ini aku sendirian di rumah. Mas Ardhi membawa Bumi dan Langit ke bengkel. Katanya dia mau mengenalkan mereka ke pegawainya, tadinya aku mau ikut tapi karena sedang tidak enak badan aku memilih untuk menempel di kasur.

Hubungan Mas Ardhi dan anak-anak sangat baik, kedua jagoan kecilku itu makin lengket dengan Ayahnya. Terkadang, aku merasa cemburu karena mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan Mas Ardhi ketimbang aku. Jangan tanya bagaimana perkembangan hubunganku dan Mas Ardhi, aku tidak merasakan apa-apa kepadanya, mungkin.

Rasanya suntuk sekali karena biasanya aku menghabiskan waktu bersama kedua anakku. Novel yang kubaca tidak bisa menghilangkan rasa bosanku. Beberapa saat membaca, ponselku yang berada di atas meja berdering. Karena penasaran siapa yang melakukan panggilan. Aku melihat layar ponsel, di sana terlihat nama seseorang yang tengah melakukan panggilan padaku.

Bagas is calling...

Aku memilih untuk mengangkat panggilan tersebut. "Assalamualaikum, kenapa Gas?"

Aku dan Bagas mengobrol begitu saja. Kami berceloteh tentang semua hal yang menurutku tidak penting tapi berhasil beberapa kali membuatku tertawa. Bagas memang sosok yang humoris, tidak heran kalau dia banyak disukai anak-anak.

Sempat sedikit terkejut saat Bagas mengatakan bahwa dia akan pindah ke Bogor dan kerja disalah satu rumah sakit di sana. Bagas mengatakan bahwa kontraknya sudah mau habis, lagipun Bagas merupakan dokter non-PNS jadi birokrasinya lebih mudah dan tidak terlalu rumit. Dalam beberapa waktu dekat dia akan tiba di Jakarta dan meminta aku serta anak-anak untuk bertemu, Bagas juga menyinggung soal lamaran yang dia ajukan padaku. Namun, aku hanya tertawa menanggapinya dan memberitahu Bagas kalau aku masih butuh waktu.

Beruntung, Bagas mengerti dan mengatakan akan menunggu jawabanku. Sungguh dia pria yang baik, tapi kenapa hatiku tidak pernah bisa jatuh padanya. Padahal masih banyak wanita di luar sana yang jelas mau dinikahi oleh Bagas.

Bagas juga tidak tau soal perjanjian yang aku buat dengan Mas Ardhi. Dia hanya tau kalau aku pulang ke Bandung untuk menemui orangtuaku dan pindah ke Jakarta untuk menetap serta mengurus soal masalah status pernikahanku dengan Mas Ardhi.

Tidak terasa entah berapa lama kami mengobrol sampai lupa waktu. Saat hendak mengambil minum di dapur, masih dengan satu tanganku menahan ponsel supaya menempel di telinga, aku dikagetkan oleh sesuatu. Tiba-tiba tanganku dicekal, aku terkejut Saat aku berbalik, aku mendapati Mas Ardhi yang sedang menatapku tajam.

Dengan cepat, Mas Ardhi mengambil ponselku dan memutuskan panggilan dari Bagas, matanya memicing menatapku. "Oh jadi ini alasan kamu nggak mau ikut?

Aku yang tidak mengerti hanya menggeleng. "Maksud kamu?"

"Mulai hari ini ponsel kamu aku yang pegang," pungkas Mas Ardhi membawa ponselku, aku mengejarnya dan berusaha merebut ponsel itu darinya.

"Mas! Itu ponselku, kamu nggak punya hak!" kataku sambil sesekali mehanan menarik kemejanya.

Mas Ardhi menghentikan langkahnya, dia berbalik menatapku dengan wajah marah. "AKU PUNYA! KARENA AKU SUAMI KAMU!"

"Jangan bercanda kamu Mas! Walaupun kamu suamiku, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya seperti ini!" balasku dengan suara meninggi, Mas Ardhi terlihat hendak kembali membalas ucapanku, jari telunjuknya tertuju ke wajahku.

"Nda... Yah..."

Aku dan Mas Ardhi menoleh bersamaan ke sumber suara. Bumi dan Langit menatap kami berdua bingung, aku merutuki diriku sendiri karena sudah berteriak di depan anakku.

"Sayang-sayangnya Bunda udah pulang?"

Mas Ardhi berjalan melewatiku, kemudian dia menggendong kedua putra kami. "Ikuti aku."

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang