Satu tahun sudah aku hidup dengan penyakitku, tubuhku hanya bersisa tulang dan kulit. Untuk sekedar berjalan saja aku sudah tidak bisa, ke mana-mana aku perlu orang lain untuk membantuku. Kursi roda yang kududuki menjadi pengganti kakiku yang sudah lunglai tak bertenaga.
Jakarta, di sinilah aku. Berniat menemui sahabatku-Banyu yang sudi mengantarkanku untuk sekedar menengok anak-anakku yang lain selain Pandu. Kerinduanku pada mereka sudah tidak tertahankan, mesiki dokter menyarankanku untuk tidak melakukan kegiatan yang akan membebani tubuhku, rasanya aku lebih memilih merasakan sakit di sekujur tubuh dari pada harus terus merasa sesak akan kerinduan yang sudah tidak tertahankan.
"Yakin cuma mau ngintip? Gue bisa anter lo ketemu mereka tanpa harus ketauan Dara," ucap Banyu begitu kami sampai di sebuah sekolah dasar tempat kedua putraku, Bumi dan Langit menimba ilmu.
"Enggak usah, gue cuma pengen liat mereka," kataku perih, sungguh aku sangat ingin bertemu keduanya.
Napasku terengah, Banyu memberiku minum. Sudah hampir dua jam aku menunggu di dalam mobil, tapi batang hidup kedua putraku tidak terlihat sama sekali. Seharusnya mereka sudah keluar kelas, sudah tepat tengah hari sekarang.
Dari jauh, mataku menatap sayu dua bocah kecil berparas sama satu sama lain. Keduanya berlari kecil, yang satu tersenyum sumringah, tapi satu lainnya nampak tidak menunjukkan ekspresi apapun. Aku tergugu, batinku rasanya sesak. Melihat Bumi dan Langit memakai seragam sekolah membuat hatiku mengilu bak dihujam pisau berkarat, aku menyesal karena tidak bisa melihat mereka saat pertama mereka masuk sekolah dasar.
"Gue anter ketemu mereka ya?" Banyu menepuk punggungku yang bergetar karena menangis.
"Jangan, gue cukup begini. Jangan buat mereka berharap lagi, sebentar lagi gue akan pergi," kataku menggeleng kecil, mataku nanar menatap perih kedua putraku yang kini sedang duduk di pelataran sekolah, keduanya nampak begitu sehat. Dara dan Arsen mengurus keduanya dengan sangat baik.
Tiba-tiba aku teringat bayangan keduanya saat masih kecil, aku mengingat saat pertama kali membawa mereka bermain ke Taman Safari, sungguh semua itu membahagiakan hatiku.
Ait mau itu Yah...
Umi uga Yah...
Lelehan air mata terus jatuh melewati pipi kurusku, mengingat keduanya selaku kompak ketika meminta sesuatu padaku.
"Bangsat! Udah, sekarang keluar. Kita temuin mereka, lo pikir gue tega liat lo nangis dari tadi?"
Aku menyetop Banyu yang hendak keluar dari mobil, "Please, jangan. Jangan buat mereka menderita karena gue."
Banyu membuang napasnya, "Terus lo mau gini terus? Sampai kapan?"
Aku menggeleng, "Kita pulang, gue udah puas bisa liat mereka sehat dan bahagia. Nanti tolong titip salam dan makasih gue ke Arsen ya."
Banyu tidak menjawabku, dia pergi keluar dari mobil, "Puas-puasin aja dulu, gue mau ngerokok."
Aku kembali memandangi kedua putraku, tapi saat ini mereka tidak berdua. Ada sosok lain yang tengah berbincang dengan mereka sambil menggendong seorang anak perempuan, perutnya nampak sudah membesar.
Air mataku kembali lolos, "Dara, Yasmin..."
Hatiku dipenuhi banyak sekali penyesalan karena hanya bisa melihat keluarga kecilku dari jauh. Andai, andai waktu bisa aku ulangi, aku tidak akan pernah melakukan semua perbuatan yang telah aku torehkan pada Dara yang sudah lagi bukan milikku. Andai, dia masih bersamaku apa Dara mau menerima keadaanku saat ini?
Aku tertawa kecil mengejek diriku sendiri. Apa artinya aku yang sekarang dibandingkan dengan Arsen? Aku hampir kalah dari semua aspek.
Mataku memicing saat melihat Dara memegangi perutnya, dia terlihat seperti sedang kesakitan. Tangannya menurunkan Yasmin perlahan ke tanah. Aku panik begitu melihat kucuran darah mengalir dari pahanya dan jatuh ke kakinya.
Dara berteriak minta tolong, aku mendengarnya dan bereaksi. Masalahnya tidak ada satupun orang dewasa di sana, aku merutuki kakiku yang tidak mau merespon titah dari otakku. Dara terus menjerit meminta tolong diikuti tangis ketiga anakku.
Dengan perasaan yang kuat aku membuka pintu mobil, saat mencoba berdiri aku terjatuh. Tubuhku terjuntai ke tanah, dari jauh tanganku mencoba menggapai Dara. Aku berharap lebih baik aku yang kesakitan, berikan semua kesakitannya itu padaku yang memang sudah akan mati.
"Aku mohon, hanya kali ini. Aku mohon berdiri..."
Aku berdiri, entah apa yang membuatku bisa berdiri. Tanpa berpikir lagi, aku membawa kakiku menuju keluarga kecilku.
"Om, tolong Bunda Om. Tolong Bunda Langit," ucap Langit, dia berlari mendekatiku, ada sedikit rasa perih karena dia tidak mengenaliku. Namun, aku mengeyahkan segala pikiran itu dan berlari ke arah Dara.
"Tolong bawa saya ke rumah sakit Mas," rintih Dara menahan sakit di perutnya.
Aku mengangguk, "Pegang leher saya Mba."
Aku menangis dalam hati, kami seperti orang asing.
Saat tanganku mencoba mengangkat berat tubuh Dara, rasanya sekujur tubuhku dilanda kesakitan. Aku tidak kuat, tubuhnya yang dulu kuanggap ringan dan kugendong ke mana saja. Saat ini rasanya begitu berat sampai menyiksa tubuhku, aku lupa kalau kondisiku sekarang tidak sedang baik-baik saja.
Dengan menahan sakit, aku menggendong Dara masuk ke dalam mobil Banyu dan mendudukannya di kursi belakang, diikuti Bumi dan Langit yang berusaha menggendong Yasmin.
"Tolong hubungi suami saya Mas," ucap Dara. Aku mematung, sadar kalau aku memang bukan siapa-siapa baginya.
"Se-sekarang saya antar Mba dulu ke rumah sakit, nanti kalau sampai saya kabari suami Mba," kataku dengan menahan segala bentuk perih dihatiku.
Aku melajukan mobil milik Banyu, ponselku berdering dan aku mengangkatnya.
"Gue pinjem mobil lo, nanti susul gue di RS *** ya," kataku kemudian menutup sambungan telepon dari Banyu, aku yakin dia bingung karena mobilnya tiba-tiba hilang.
Sampai di RS, aku menelpon Arsen. Tidak lama dia datang dan memasuki ruangan persalinan dengan cemas. Arsen tidak mengenaliku, aku hanya menatap nanar dari luar ke arah pintu ruangan persalinan. Saat Bumi, Langit dan Yasmin lahir dulu aku tidak bisa menemani Dara. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membayarnya, setidaknya lahirannya kali ini Dara bisa ditemani suaminya. Itu cukup bagiku, dia pasti berjuang dengan bahagia di samping suaminya sekarang.
Tubuhku tiba-tiba terasa kaku, aku merasakan kakiku lemas. Tanah yang kupijak seperti melentur dan berogoyang. Aku runtuh, tubuh terjatuh tergeletak di teras rumah sakit. Bisa kudengar kedua putraku berteriak meminta tolong, aku menatap ketiga anakku walaupun kesadaranku mulai menghilang.
"Om, om kenapa?"
Bumi...
"Om! Tolong, Pak. Tolong..."
Langit...
Diujung kursi Yasmin juga menangis karena bayak orang mulai mengerumuniku, suara mereka nampak samar, tapi tangisan Yasmin begitu terdengar nyaring di telingaku.
Yasmin...
Dengan segenap kekuatan aku mempertahankan kesadaranku, melihat ke arah pintu ruangan persalinan.
Dara...
Dara...
Dara...?
Sia-pa Dara?
***
Nih say POV-nya Mas Ardhi, btw ini kejadiannya terjadi pas Dara lahiran Azzam dan Azna yang nggak aku ceritain sebelumnya di cerita utama karena time skip.
Hope u guys enjoy ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo Rujuk!
Roman d'amourHanya sebuah cerita pesakitan dari dua entitas berwujud manusia. Mereka adalah Arshadara Bilqis dan Khalifah Fil Ardhi, dua insan yang bersatu dalam sucinya pernikahan. Awalnya, pernikahan terasa sangat membahagiakan bagi keduanya, tapi semua beruba...