[14] Birthday Party

2K 229 18
                                    

"Kalian mau kemana pagi-pagi sudah rapi?" Jennie bertanya kepada dua gadis yang sedang bersiap-siap di kamar Rosé.

Rosé yang masih kesal dengan perlakuan Jennie semalam hanya diam, tak menjawab pertanyaan kakaknya itu.

"Kita mau pergi kesuatu tempat untuk merayakan hari ulang tahunku unnie." Lalice menjawab pertanyaan Jennie sambil menatap wajah datar Rosé yang seakan tidak peduli dengan keberadaan kakaknya.

Semalam Rosé memang sangat sedih melihat Jennie yang marah padanya. Namun setelah dipikir-pikir olehnya. Dirinya tidak bersalah karena meletakkan foto lama itu di ruang kerja Jennie.

Bagaimana mungkin kakaknya itu masih menyalahkan orang yang tidak bersalah akan kejadian masa lalu. Apa kakaknya itu masih anak kecil yang bisa menyalahkan orang lain sesuka hatinya?

Jika orang yang disalahkan adalah orang lain, Rosé tentu tidak peduli. Tetapi ini menyangkut adiknya dan juga adik Jennie juga. Bagaimana bisa kakanya itu tidak memahami hal ini?

Rosé menjadi kesal sendiri dengan kakak keduanya itu. Hari ini dia memutuskan untuk merayakan ulang tahun adiknya dan juga Lalice diluar mansion karena tidak ingin melihat Jennie untuk hari ini saja.

Namun tiba-tiba kakaknya yang bermata kucing itu datang dan bertanya seolah-olah semalam tidak terjadi apa-apa.

"Lalice apa kau ingat hari ini ada meeting penting dengan klien kita?"
Jennie tanpa dosanya bertanya seperti itu membuat Rosé naik darah.

"Aku sudah meminta ijin kepada Jisoo unnie, dan dia mengijinkan kami untuk pergi hari ini." Ujar Rosé datar tanpa memandang orang yang berada didepan pintu kamarnya.

"Maaf unnie aku tidak meminta ijin padamu. Lain kali aku akan memberi tahu dirimu jika aku ijin tidak bisa berangkat ke kantor."
Lalice tersenyum lemah, merasa bersalah karena harus meninggalkan meeting penting itu. Namun dirinya sudah terlanjur janji kepada Rosé untuk merayakan ulang tahun nya dan juga Lisa hari ini.

Jennie hanya mengangguk kecil lantas memperhatikan adiknya yang seakan tidak peduli dengan keberadaan nya.

"Apa gadis itu marah padaku?"
Jennie bertanya pada Lalice sambil menunjuk gadis blonde yang masih sibuk berdandan.

Lalice hanya menggelengkan kepalanya namun pertanyaan Jennie masih bisa didengar oleh Rosé.

"Apa aku tidak boleh marah padamu?"
Ujar Rosé datar tanpa menatap kakaknya.

"Tentu tidak boleh. Kita adalah saudara." Jennie menjawab lalu masuk kedalam kamar Rosé.

"Lantas mengapa kau marah pada Lisa. Bahkan kau membencinya, unnie!" Rosé sedikit meninggikan suaranya karena sudah merasa emosi dengan sikap kakaknya itu.

"Itu beda chaeng, dia itu pembunuh eomma dan appa! Dan kau sudah kuperingatkan untuk tidak menyebutkan namanya lagi!" Sekarang Jennie juga mulai tersulut emosi.

Prangggg.....

Sebuah gelas luruh kelantai. Bukan Rosé yang menjatuhkannya, melainkan Lalice yang hendak minum namun tiba-tiba mendengar perkataan yang menyakitkan itu.

Lalice sudah tidak bisa menahan air matanya. Dia langsung keluar dari kamar Rosé tanpa memperdulikan Jennie yang tampak bingung dan juga Rosé yang sangat menahan emosi nya itu.

"Lihatlah unnie bahkan orang lainpun tak kuasa mendengar omong kosong mu itu. Dan kau bilang Lisa pembunuh? Asal kau tahu unnie, adikku itu bukan pembunuh! Sampai kapan kau akan melabelinya dengan kata menyedihkan itu?! Bahkan aku yakin jika eomma dan appa pasti kecewa padamu!"

Rosé sudah menangis karena merasa tidak kuat mendengar kata pembunuh yang selalu Jennie label kan untuk adiknya sendiri.

"Pergilah unnie, aku tidak ingin hari ini rusak karena dirimu!"

You'll Never Know Unless You Walk in My ShoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang