[7] Saatnya Untuk Memulai

62 46 9
                                    

Assalamualaikum semuanya
Yuk ramaikan dengan vote+komen
.
.
.
.
.

"Mah, semua barang sudah Aqila siapkan. Apa yang harus ditunggu lagi?" tanya Aqila takut mengurungkan niatnya untuk pindah.

"Tunggu, Bu Rahma sama suaminya dulu."

Tak lama setelah itu, Bu Rahma dan suaminya datang untuk melihat Aqila pergi. Sejenak rasa kehilangan yang teramat datang di hati Bu Rahma entah karena apa. Mungkin saja, karena Bu Rahma sudah menganggap Aqila seperti anak kandungnya. Melihat tatapan mata Aqila yang teduh, terlihat jelas jika gadis itu sudah lama mengalami masa sulit. Hal itu juga yang mungkin membuat Bu Rahma berat untuk melepas Aqila.

"Nak, kamu yakin mau pergi?" tanya Abi.

"Dia anak saya, jadi itu hak saya. Ini sudah yang terbaik bagi Aqila untuk menjalani kehidupan ke depannya," ucap mamah terkekeh namun terlihat jelas penekanan dalam setiap katanya.

"Iya Bu. Saya tahu. Saya mohon, jaga Aqila dengan baik. Jangan buat dia tertekan dan buatlah bahagia," ucap Bu Rahma.

"Itu sudah pasti. Karena, dia anak saya."

Sedikit pembelaan saja, adalah suatu hal yang sangat Aqila harapkan saat ini. Sekalipun itu bukanlah yang dia inginkan. Mamah hanya mengatakannya tanpa membuktikannya. Aqila menatap miris ke arah mamah dan papah. Pulang dari sini, dia akan ke rumah bibinya dan akan meluapkan semua bebannya pada bibi. Dari semua keluarga, hanya bibi dan Rafael yang menganggapnya sama. Terkadang, Aqila justru merasa jika saja bibi adalah ibunya.

"Ibu, Abi. Aqila pamit ya. Terima kasih untuk bimbingan dan didikannya selama ini. Satu bulan menurut Aqila adalah waktu yang cukup lama. Aqila mohon, tetap sertakan doa Bu Rahma sama Abi supaya mengiringi langkah Aqila."

"Pasti, Nak. Jangan lupakan kami dan pesantren ini." Bu Rahma memeluk Aqila dan menumpahkan air matanya di sana.

"Baiklah, Bro. Kita pamit dulu. Maaf jika selama di sini, Aqila banyak salah. Baik dalam bertindak, ucapan, dan semuanya," ucap papah.

"Iya, nggak papa. Namanya juga proses."

"Baiklah, kalau begitu Aqila pamit. Assalamualaikum," ucapnya.

"Aqila, tunggu!" gadis itu menoleh.

"Adnan? Lo ngapain lari gitu?" tanya Aqila.

"Nggak, kok. Aku cuma mau liat kamu pergi sama ngasih sedikit hadiah buat kamu yang udah mau belajar di sini," ucap Adnan malu sambil memberikan sebuah bingkisan.

"Wah, nggak salah nih? Tapi, makasih ya. Apa nih isinya?" tanya Aqila penasaran.

"Jangan dibuka! Buka kalau udah sampai aja."

"Oke, kalau gitu gue pamit dulu ya. Assalamualaikum," pamitnya.

"Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh," jawabnya.

...........

Benar dugaannya, sejak tadi. Setelah sampai di rumah bibi, mamah dan papahnya langsung pergi tanpa memberikan pelukan atau mengatakan apa pun padanya sebagai penyemangat. Mereka hanya berbicara sebentar dengan bibi kemudian langsung pergi tanpa menoleh pada Aqila.

Bibi yang melihat keponakannya, turut berempati menyaksikan adegan di depannya. Dielusnya kepala Aqila yang kini tertutup jilbab. Keponakan yang satu itu kini semakin cantik dan dewasa. Ada kebanggaan dan ada alasan tersendiri mengapa bibi sangat menyayangi Aqila melebihi rasa sayang yang mamahnya Aqila berikan.

"Sayang, kamu udah besar ya."

"Bibi, Aqila kangen. Bibi apa kabar?" tanya Aqila memeluk bibi.

"Alhamdulillah, baik. Udah, sekarang bawa barang kamu. Bibi bantuin bawa ya. Kamu pasti capek."

"Baik, Bi. Terima kasih."

Aqila melangkahkan kaki masuk dan menghampiri sebuah pintu berwarna cokelat dengan gagang pintu berwarna hitam. Senyum manis mengembang di wajah cantiknya saat melihat kamar yang didominasi oleh warna kesukaannya. Tanpa membereskan dahulu barang-barang yang dibawa, Aqila segera merebahkan diri di atas kasur empuk dengan sprei motif mawar yang membuatnya sangat nyaman.

Kamar ini, terakhir kali dia gunakan saat mamah dan papahnya mengajak liburan ke sini. Saat itu, Aqila berusia sekitar 10 tahun jika tidak salah. Masih terekam jelas bagaimana kebersamaan mereka semua. Saat itu juga, mamah dan papah selalu menatap Aqila dengan hangat, walaupun Aqila tahu hal itu dilakukan karena ada tetangga bibi yang datang ke sini.

"Akhirnya, setelah sekian lama. Gue kira nggak bisa ke sini lagi."

"Aqila! Keluar dulu! Kita makan, yuk!" teriak Bibi.

"Iya, Bibi. Tunggu sebentar."

Beberapa makanan lezat tersaji di depan mata Aqila dan membuat Aqila meneguk ludahnya karena makanan yang sangat menggugah selera. Dengan sigap, Aqila meletakkan nasi ke piring dan memasukkan semua kaum lauk yang ada.

"Pelan-pelan, Nak. Nggak bakal bibi habisin," ucap Bibi.

"Hehe, maaf. Aqila kangen sama makanan ini. Eh iya, Bi. Galih mana?" tanyanya.

"Sekolah. Pulangnya bentaran lagi, kayaknya. Mau ikut jemput nggak? Sekalian nanti kamu daftar sekolah. Udah disiapin sama mamah atau papah kamu, kan?"

"Belum. Boro-boro disiapin. Ke sini aja, mamah sama papah cuma nganterin Aqila. Nggak mikir apa saja yang mau disiapkan."

"Kamu sabar, ya. Suatu saat nanti, mereka akan bangga sama kamu dan mereka akan menyesal karena bersikap kayak gini. Kamu nggak dendam sama mereka, kan?"

"Nggak, Bibi. Biar bagaimanapun juga, mereka orang tuaku. Jadi, ya harus dihormati."

Andai saja kamu tau semuanya, Aqila, batin bibi.

"Em, ya udah. Nanti, bibi bantu urus semuanya."

"Makasih, Bi. Kenapa bibi baik sama aku di saat mereka yang justru penguat Aqila pergi?"

"Nggak, kok. Mereka nggak pergi. Sekarang, makan saja dulu. Nanti jemput Galih sama bibi."

Bibi adalah satu-satunya keluarga gue yang menganggap gue sama kayak yang lain. Biarpun, gue nggak bisa bikin orang tua bangga, ada bibi yang harus gue banggakan. Ini saatnya untuk memulai . Welcome in the another world, Aqila. You can do it. Batin Aqila menyemangati diri sendiri.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Assalamualaikum semuanya...
Gimana saran dan kesan part ini?
Yuk pencet komentar plus vote
🥰🥰🥰🥰🥰🥰

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang