Happy reading
.
.
.
.
.
.
Semua orang sangat antusias menyambut kedatangan Aqila. Jejeran santri putra dan putri tertata rapi dari awal pintu gerbang masuk sampa depan ndalem menyambut kedatangannya. Syakila, gadis berusia 10 tahun menjadi orang yang pertama kali mengalungkan sesuatu di leher miliknya.Baru pertama kali Aqila mendapat sambutan sehangat itu. Di sini, dia merasa diratukan oleh mereka. Senyuman tak pernah lepas dari bibir indahnya. Tanpa dia sadari, di belakangnya ada pria yang dari tadi tidak bisa melepaskan pandangan dari Aqila. Abian diam menatap wajah bahagia Aqila. Jika boleh berkata, dia ingin terus melihat senyum tersebut.
"Bang, lo kenapa?" tanya Devan.
"Nggak papa lah. Cuma seneng aja Aqila bisa balik," jawabnya.
"Iya sih. Tapi, ada kemungkinan dia ikut kita ke pesantren memang bareng, tapi dia nggak tau balik apa nggak lagi ke rumah."
"Maksud lo?"
"Lo 'kan tau sendiri, Bang. Orang tua kandung Aqila aja udah di sini. Kemungkinan besar, dia pasti ikut ke sini, 'kan?" ucap Devan.
Abian bungkam dengan ucapan Devan. Dia tidak berpikir hingga itu. Dia hanya bahagia saat tahu Aqila bisa kembali dari rumah sakit. Di dalam pikirannya, jika Aqila kembali berarti Aqila tidak akan kenapa-kenapa lagi dan Abian bisa berbincang serta melihat wajah cerahnya lagi. Namun, di luar dugaannya ternyata hal itu justru akan mempersulit dia untuk bisa bersama Aqila lagi.
Berarti bukan gue bisa terus sama lo Aqila. Justru, kita nggak bisa bertemu seperti biasanya. Lalu, bagaimana nasib gue yang kadang nggak bisa nahan rindu sama lo? batin Abian.
Lamunan itu buyar, karena tanpa sadar Abian sudah sampai di dalam rumah Bu Rahma. Semua orang berkumpul di sana. Hari ini Aqila adalah ratu mereka. Bukan cuma mereka, namun Aqila adalah ratu di hati Abian hingga Abian sendiri lelah untuk mencintai Aqila.
"Gue seneng banget bisa bareng lagi kayak gini. Lo jangan kayak gitu lagi, ya. Gue nggak bisa liat lo kayak gitu,"ucap Talita.
"Iya-iya. Gue minta maaf sama kalian karena bikin khawatir," ucap Aqila.
"Udah, Nak. Sekarang, kamu nggak bakalan kayak gitu. Ibu sama abi sudah di sini. Kami orang tua kandung kamu," ucap Bu Rahma.
"Makasih, Umi. Pokoknya, nanti Aqila bakalan cerita semua kejadian."
Bu Rahma tersentuh dengan panggilan itu. Rasanya, panggilan itu benar-benar tulus. Bu Rahma terharu akhirnya Aqila bisa memanggilnya begitu. Dia datang mendekat kepada Aqila dan mengusap pipi putrinya.
"Maaf, Bu. Aqila_"
"Nggak papa, Aqila. Panggil ibu dengan panggilan umi. Asal kamu tahu, umi sangat mengimpikan hal itu dari dulu saat kita belum dipertemukan," ucap Bu Rahma.
"Udah deh, Qil. Jangan bikin kita itu nangis lagi. Udah cape, kita nangis waktu liat lo di rumah sakit nggak sadar-sadar. Jangan bikin nangis lagi karena pemandangan ini," ucap Nara.
"Umi, mereka ganggu. Kita lanjut aja nanti," ucap Aqila.
"Mohon maaf semuanya, bukan gimana ya. Kita ke sini niat awalnya buat ngisi waktu libur, loh." Semua orang menatap Adnan dengan tatapan bingung. Apa yang dikatakan pria itu benar. "Nggak gitu. Maksudnya, niat awalnya gitu 'kan?" ucapnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CONVENIENCE (Kenyamanan)
Fiksi RemajaBerada di antara sesuatu yang membuat hati dihujam sebuah delima adalah hal yang mampu mengubah hati. Sebuah lambaian yang menyapa hanya datang untuk bersinggah sesaat tanpa dipungkiri jika sang bunga sudah mendapatkan titik terakhirnya. Kenyamanan...