[46] Tak Terduga

44 23 83
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.
.
.

Bersama dengan tiupan angin yang menerbangkan gamis yang dikenakan seorang gadis cantik dan manis. Duduk di bawah kerlipan bintang menjadi benderang malam bersama satu bulan yang tak kalah terang. Banyak suara merdu mengalun sesuai dengan ciri khas suara masing-masing.

Waktu sekarang harusnya adalah mengaji. Semua itu berlaku bagi santri dan santriwati lain kecuali Aqila. Setelah perbincangan kemarin perihal ta'aruf, Aqila harus meninggalkan semua aktivitasnya kecuali untuk persiapan ta'aruf itu. Hingga sekarang, sosok yang akan ta'aruf dengannya tak kunjung tiba.

Sebuah tepukan bahu membuatnya terkejut tak kala setelah itu dia menemukan umi tengah tersenyum dan membawa kotak kecil entah isinya apa. Kedatangan umi adalah tarikan magnet sendiri untuk Aqila. Gadis itu segera memintanya duduk dan meletakkan kepalanya di bahu sang umi.

"Nak, jangan di sini. Nanti kamu masuk angin," ucap umi.

"Nggak papa, Umi. Aqila pengin di sini sambil tunggu sahabat-sahabat Aqila selesai ngaji. Nggak papa 'kan?"

"Iya, nggak papa. Kalau gitu, umi temenin sini ya," ucapnya lembut.

Sandaran ternyaman adalah sosok ibu. Aqila memejamkan matanya merasakan setiap kasih tersirat dari sang umi. Hembusan angin semakin lembut membuat tangan umi mendarat di bahu Aqila kemudian mengusapnya perlahan.

"Umi, kenapa Aqila udah besar ya? Baru kemarin rasanya Aqila tuh, masih nakal sama bandel. Kenapa sudah gini aja?"

"Nak, proses dewasa memang terkadang nggak kerasa. Umi juga masih nggak nyangka. Sebentar lagi akan ada pria yang meminta kamu untuk dijadikan penyempurna separuh iman dan ibadahnya," ucap umi tersenyum.

"Tapi, Umi. Aqila masih pengin habisin waktu Aqila sama umi juga abi. Rasanya baru kemarin juga Aqila bisa merasakan arti keluarga yang benar-benar aku impikan. Aqila belum siap jika harus pisah lagi. Aqila masih butuh bimbingan sama belajar banyak soal kehidupan."

"Umi yakin, orang yang nantinya mau minta Aqila pasti bisa bimbing Aqila sampai surga. Insyaallah, Sayang."

"Aamiin. Aqila harap juga gitu."

Entah dari kapan sahabat Aqila sudah ada di belakang kursi taman. Mereka ikut berhambur ke dalam pelukan satu sama lain. Jika saja Umi Rahma masih tidak menyangka, apalagi dengan para sahabat Aqila. Satu di antara mereka paling muda adalah Aqila. Tiba-tiba saja justru Aqila yang akan take  dulu dibandingkan mereka.

"Eh kalian kapan di sini?" tanya Aqila.

"Semenjak tadi lo sama umi pelukan. Sumpah sih, gue seneng sama terharu juga," ucap Talita.

"Eh, Alinda. Lo ngapain nangis? Aqila nggak pergi woy," ucap Nara melihat mata Alinda berkaca-kaca.

"Lo ngapain sih, Lin?" tanya Aqila menahan tertawa.

"Ihh nggak. Ini tuh gue kena debu tadi. Nggak nangis. Lo mah pada gitu," ucap Alinda.

"Liat nih, pasti bentar lagi nangis tuh," ucap Aqila.

"Ishh lo apa-apaan sih? Umi, mereka nakal."

Semua orang tertawa melihat Alinda yang seperti itu. Alinda adalah gadis yang mudah terharu dan menangis. Apalagi jika sudah berkaitan cerita keluarga atau apa. Ciri khasnya adalah jika ketahuan ingin menangis, pasti dia akan menjawab dengan dalih atau alasan lain yang kiranya masuk akal.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang