[55] Lepaskan Semuanya

28 19 59
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.
.
.

"Umi, Aqila berangkat dulu ya. Aqila janji sekolah selesai bakalan langsung pulang."

Langkah kaki terburu-buru terdengar menghiasi lantai yang bersih dan mengkilap itu. Hijabnya bergoyang mengikuti langkah kaki si empunya yang begitu terburu-buru. Terlalu cepat hingga dia lupa memberikan salam pada tuan rumah.

"Ya Allah, Nak. Jangan buru-buru. Enggak bakalan telat kok!" teriak Umi Rahma di dapur dengan tangan yang sedang mengolah berbagai macam sayur dan bumbu dapur. "Ini sarapannya gimana? Umi udah siapin semuanya loh, Nak."

"Enggak keburu, Umi. Hari ini Aqila ada ulangan geografi. Aqila mau belajar sama Nara," ucapnya.

"Kan Nara ada di pondok juga, Aqila. Kamu lupa ya?" tanya umi.

Aqila diam mencerna ucapan Umi Rahma. Bagaimana dia bisa lupa jikalau semua sahabatnya itu ada di pondok yang sama? Menoleh malu, Aqila tersipu dengan kedua tangan yang menutupi wajah ayunya. Umi hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah gadis itu.

Sesekali, Aqila melihat ke jam dinding yang terpasang jelas di dinding. Kemudian, gadis itu mendekati umi dan meraih kedua tangan Umi untuk berpamitan karena sebentar lagi jam 07.00. Umi meletakkan bekal makanan ke dalam tas dan kemudian mengusap rambut Aqila dengan penuh kasih sayang beserta doa-doa entah apa.

"Ya udah kalau gitu. Aqila bawa bekal dari umi. Maafin Qila yang udah nolak masakan umi. Dimaafin kan?" Gadis itu menatap lucu ke arah Umi Rahma dan membuat wanita paruh baya yang di depannya gemas. Alhasil, tangannya bergerak untuk mencubit pipi anak kesayangannya. "Umi...sakit tau. Nanti kalau Aqila tambah tembem gimana?" ucapnya cemberut.

"Enggak papa. Malahan lucu kalau kamu gitu," jawabnya terkekeh.

"Udah lah. Aqila beneran telat nanti loh. Berangkat dulu, Um. Assalamu'alaikum," pamitnya.

Dengan senyuman yang lebar mata yang kini semakin sayu namun terlihat masih cantik menatap punggung putrinya yang kian menjauh. Jika boleh berkata, Umi Rahma turut sedih melihat hubungan Aqila dengan Abian yang jadi seperti saat ini. Dia bahkan tidak tahu kalau Abian yang dikenalnya baik melakukan semua itu hanya karena anak baru yang dia sendiri tidak kenal pada awalnya.

"Nak, umi selalu berdoa buat kebaikan kamu. Allah tau mana yang terbaik buat kamu. Percayalah, Nak. Akan ada kebahagiaan yang begitu besar setelah ini. Umi tahu kalau kamu itu gadis kuat. Ya Allah, kuatkan hati anak hamba," ucapnya sedih dan air mata yang tiba-tiba turun.

Dirasakannya sebuah usapan lembut di bahunya. Sang suami sudah ada di sisinya dengan sebuah senyum yang begitu menenangkan. Umi Rahma menyenderkan kepalanya kepada suaminya. Mengerti jika sang istri membutuhkan ketenangan, abi membawa umi ke sebuah kursi dan memeluknya dengan erat.

"Umi percaya kalau Aqila kuat, hm? Abi aja yakin kalau anak gadis kita itu bisa menghadapi semua ini. Mungkin Abian bukan untuk anak kita," ucapnya lembut.

"Umi tau kok, Bi. Hanya saja kayak enggak nyangka aja. Kita pikir Abian itu pemuda baik, saleh, dan bisa jaga diri. Tapi ternyata_"

"Enggak boleh gitu, Sayang. Jangan liat sisi buruk orang lain. Enggak boleh," ucapnya.

"Maafin, umi."

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang