[24] Urat Malu?

23 11 6
                                    

Happy reading
.
.
.
.

"Kayaknya dari kemarin ada yang bahagia mulu. Lo tau nggak kenapa?" bisik Talita pada Alinda. Nara yang sedikit tahu, hanya diam tak ingin menggubrisnya. "Nara, lo tau nggak? Kok bisa gitu?" tanyanya.

"Nggak tau gue. Lagian liat temen bahagia ya udah biarin aja. Jangan diusik," ucapnya setengah tidak peduli. "Aaak! Nara! Aku padamu. Lo paling pengertian," ucap Aqila.

"Biasa aja, anjir. Diem, gue lagi badmood."

Aqila yang mengerti hanya mengangguk patuh dan kemudian dia menatap ke arah Alinda dan Talita yang juga melihatnya dengan kerutan di dahi mereka. Jelas itu terjadi, karena mereka pasti penasaran dengan yang terjadi pada Aqila saat ini.

Seperti biasa, keempat gadis bersahabat itu mengawali pagi mereka dengan kebiasaan perempuan pada umumnya. Yap, apa lagi jika bukan ghibah time. Banyak hal yang mereka bicarakan. Bukan hanya itu, mereka juga banyak bercerita yang mengarah pada kehaluan.

Tiba-tiba, Hana datang bersama dengan Fadila. Aqila menghentikan perbincangan mereka dan memanggil Nara karena dia tahu Hana dan Fadila datang untuk menghampirinya. Bisa Aqila tebak jika Nara harus pergi bersama mereka karena Nara ikut salah satu organisasi di sekolah.

"Yah, tinggal kita bertiga aja. Ada yang kurang nggak sih?" tanya Aqila.

"Bener banget sih. Udah biasa berempat, Nara nggak gabung rasanya aneh," ucap Talita. Mereka segera menghadap ke arah depan saat tahu ada guru SBK. "Masyaallah, demagenya bukan main. Andai aja masih sendiri," ucap Aqila.

"Lo kalau ngomong jangan sembarangan. Ingat, lo udah ada cowok," ucap Talita.

"Nggak ada, gila. Gue nggak sama siapa-siapa. Serius, deh." Sejenak, Aqila lupa seseorang yang saat ini memang sering menemaninya. Lalu, Aqila menyadari kebodohannya dengan senyum tidak jelas. Tapi, mereka memang tidak terikat hubungan apa-apa, kan? Aqila diam sejenak. "Eh, ngapain kepikiran Abian? Orang kita cuma temenan. Ya nggak, sih?" gumamnya.

"Lo ngomong apa?" tanya Alinda.

"Eh, nggak ada."

Saat Aqila fokus mendengarkan penjelasan guru, ada sesuatu yang bergetar di saku roknya. Getaran itu lama-lama berubah menjadi sebuah lagu. "Bodoh sekali, Aqila. Kenapa nggak di silent? Siapa sih, telpon nggak tau jam." Aqila segera mengambil ponsel sebelum lagu itu semakin keras.

"Jadi, itu penjelasannya. Bisa dipahami?" tanya guru SBK.

"Bisa, Pak!!" jawab semua murid di kelas.

"Lain kali kalau pelajaran, entah mapel apa aja ponselnya di silent dulu, ya. Soalnya kalau nggak, bakal ganggu." Guru SBK melirik ke arah Aqila.

"Malu banget, anjir," gumamnya kecil.

"Baiklah, saya akhiri dulu. Terima kasih, wassalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh," ucapnya berpamitan.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh, Pak!" jawab mereka.

Aqila segera mengecek siapa yang menelepon tadi. Jika saja itu operator, Aqila akan berjanji sepulang sekolah ponsel miliknya akan ia diamkan. "Awas aja lo, operator. Gue bunuh juga lama-lama," ucapnya.

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang