Happy reading
.
.
.
.
.
.Minggu ini terdengar sangat membosankan bagi Aqila. Gadis itu tengah duduk di depan masjid yang ada di pesantren. Matanya menelisik setiap ruangan atau tempat di sekitar masjid tersebut dan terkunci pada suatu tempat. Aqila tersenyum mengingatnya, namun dia juga takut.
Tempat itu adalah saat di mana dia dan Talita sering berdebat karena hal tidak penting. Tempat itu juga yang membuatnya harus bertemu dengan sosok yang sangat tidak dia harapkan. Masih ingat betul saat Aqila harus bertemu dengan Mba Kunti yang tengah menangis.
"Asyik juga sih. Tapi, gue juga takut kalau ingat-ingat itu. Kiranya, sekarang masih nggak ya?" ucapnya dan hendak berjalan ke arah tempat yang dia maksud. "Eh, nggak mau lah. Namanya cari mati ini mah," lanjutnya.
Aqila mengurungkan niatnya untuk ke tempat tersebut. Kini, pandangannya tertuju pada sebuah mobil. Itu adalah mobil abi. Teringat jika tadi abi bilang ingin pergi keluar bersama umi. Secepat itukah mereka kembali? Aqila memperhatikan lamat mobil itu.
Tampak seseorang yang baginya sangat tidak asing. Aqila menghapus dugaan itu karena baginya ini adalah hanya sebuah angan-angannya. Aqila berusaha tidak penasaran dengan siapa orang itu, tetapi semua sirna saat dia melihat sendiri orang itu keluar dari mobil abi. Dia kembali.
"Nggak mungkin. Ya Allah, kalau ini hanya ilusiku, aku mohon hapuskanlah," ucapnya.
Terlambat sudah. Orang itu melambaikan tangannya pada Aqila dan bermaksud untuk menghampirinya. Mata Aqila memanas dan pertahanannya hampir saja runtuh. Ada sesuatu yang ingin mendorongnya untuk menghampirinya juga, namun harus kandas saat tahu batasan antara dia dan dirinya.
"Aqila," ucapnya dengan senyuman tipis.
Orang itu merentangkan tangannya kepada Aqila. Gadis itu sadar akan maksud dari rentangan tangan itu. Aqila hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Dia tidak mau terjadi fitnah. Walaupun dia tahu jika dia dan dirinya masih saudara. Rafael, dia kembali.
"Jahat banget sih lo. Masa sepupu datang nggak lo sambut. Emangnya, lo nggak kangen sama gue?" tanyanya.
"Rafael, ini benaran lo?" tanya Aqila.
"Iya lah. Ini gue ada di depan lo. Serius nggak mau peluk gue?" tanya Rafael.
"Bukan mahram, Rafael."
Rafael membulatkan matanya. Aqila yang ada di depannya kini berbeda. Sepertinya, Rafael melupakan sesuatu. Rafael baru ingat jika Aqila itu ada di pondok pesantren. Rafael menepuk dahinya kasar. Bagaimana bisa dia melupakan sesuatu yang sangat penting? Rafael menurunkan tangannya dan menjulurkan tangannya bermaksud menyalami Aqila.
"Eh ya. Maaf, gue lupa."
"Iya nggak papa. Ngomong-ngomong lo ada acara apa nih datang ke sini? Kapan sampai di sini? Palembang jauh tau," ucap Aqila.
"Sebenarnya, gue udah ada tiga hari di sini. Gue nginep di rumah mama sapa papa lo."
"Hah, serius? Kok mereka nggak bilang?"
"Udah ada hubungin lo. Tapi, lo di pondok 'kan nggak pegang hp. Lo juga nggak minta izin pinjam hp sama orang tua kandung lo."
"Iya, gue lupa."
KAMU SEDANG MEMBACA
CONVENIENCE (Kenyamanan)
Teen FictionBerada di antara sesuatu yang membuat hati dihujam sebuah delima adalah hal yang mampu mengubah hati. Sebuah lambaian yang menyapa hanya datang untuk bersinggah sesaat tanpa dipungkiri jika sang bunga sudah mendapatkan titik terakhirnya. Kenyamanan...