Happy reading
.
.
.
.
.
.
."Umi, kapan kita akan pulang? Qila kangen sama sahabat-sahabat Qila. Di sini Aqila enggak ada teman satu pun. Mana para santriwatinya kalau lihat Aqila pada kayak gitu banget. Aqila jadi malu, Umi."
Suara bising langkah kaki membuat Aqila terusik. Padahal jika di tempatnya, hal ini sudah biasa terjadi dan biasa dia dengar. Entahlah, mungkin karena mereka bukan para teman-temannya. Raut kesal tampak jelas di wajahnya. Sungguh, jika ada ilmu menghilang dia ingin segera hilang dari sana.
Umi Rahma tengah melihat isi lemari di lemari kediaman sahabatnya itu. Masih lengkap tanpa kecuali. Rupanya sahabatnya telah menyiapkan semuanya agar Umi Rahma, suaminya, dan Aqila merasa nyaman dan merasa tercukupi.
"Nak, sini! Bantu umi masak, Sayang!" panggil umi dari dapur.
Aqila tengah berada di pintu dapur dan sedari tadi gadis itu mengamati ibunya. Aqila kesal karena dari tadi umi tidak menggubris ucapannya. Dengan langkah malas tapi tetap terlihat anggun, Aqila mendekati Umi Rahma. Dia duduk di kursi dekat meja makan dan menanggal tangan kirinya di dagu.
"Loh, kenapa? Kenapa di cantiknya umi kesal gitu?" tanya umi santai dan mencubit gemas pipi Aqila. "Apa yang membuat putri cantik umi kesal? Ayok, bilang sama umi."
"Ish, Umi....." rengeknya manja.
"Ada apa, Sayangku?"
"Umi mah gitu. Dari tadi Aqila cerita tapi malahan enggak gubris. Ah, tau lah. Malas aku," ucapnya sambil berdecak.
"Umi denger kok yang kamu bilang. Kamu kangen sama Nara, Alinda, sama Talita, bukan?" tanya umi.
"Huum..." ucapnya masih cemberut.
"Ya Allah, Nak. Jangan gemes kayak gitu dong. Nanti umi masukin lagi ke rahim loh biar jadi bayi aja," sahut umi gemas.
"Ah, tau lah. Makin malas deh. Orang lagi serius malah bercanda. Ya udah lah," ucap Aqila.
"Iya, Sayang. Sekarang udah zaman modern kan, kenapa enggak chat, telepon, atau video call ? Kamu enggak kepikiran itu, Nak?" tanya umi lembut.
"Udah dari tadi malam loh. Tapi, enggak ada sinyal. Kan makin kesel," keluhnya.
"Owalah gitu," ucap umi dan beranjak.
"Cuma gitu doang? Umi enggak ada solusi atau apa kek. Malahan tinggalin Qila."
Aqila melihat ke arah pintu dapur dan tampak jika Umi Rahma tengah berbincang dengan seseorang di sana. Aqila penasaran dengan orang itu, tapi dia urungkan karena dirasa tidak penting juga untuk tahu. Yang terpenting baginya sekarang adalah dia rindu dengan sahabat-sahabatnya, suasana pesantren milik orang tuanya, dan semua yang berkaitan dengan itu. Dia ingin pulang .
"Loh, apa ini?" tanya Aqila saat umi menyodorkan sebuah ponsel. "Ini buat apa? Aqila kan juga ada ponsel, Umi?" bingungnya.
"Kamu coba pakai ponsel ini. Katanya yang punya sih sinyalnya ada. Kamu ponselnya enggak ada sinyal sebab kartunya enggak cocok sama daerah sini. Coba gih, pakai aja."
"Owh gitu. Tapi, Aqila enggak hapal nomornya. Gimana dong?"
"Ya Allah. Kan ada ponsel kamu. Tinggal liat aja di situ, Sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
CONVENIENCE (Kenyamanan)
Teen FictionBerada di antara sesuatu yang membuat hati dihujam sebuah delima adalah hal yang mampu mengubah hati. Sebuah lambaian yang menyapa hanya datang untuk bersinggah sesaat tanpa dipungkiri jika sang bunga sudah mendapatkan titik terakhirnya. Kenyamanan...