[15] Tentang Sikapnya

36 27 15
                                    

Assalamu'alaikum guys...
Vote sama komennya yah...
Hargai penulis dong
.
.
.
.

Mamah, papah, dan Mike sudah pulang dari rumah bibi. Kini kembali hanya ada Aqila yang temenung memikirkan masa depannya saat dengan lancangnya dia mengatakan itu kepada mamah dan papah. Dia tidak ada salahnya , bukan? Aqila hanya ingin mengambil haknya, bukan ada maksud lain.

Ketukan pintu terdengar membuat Aqila yang tengah mendengarkan musik untuk mengisi sepi. Wajah Bi Ningsih terlihat bahagia menurut Aqila membuatnya bingung. Apa mungkin, jika bibinya senang melihat Aqila seperti saat ini, layaknya orang yang tak terurus. Hanya dengan teman-temannya, dia bisa tertawa puas.

"Bibi senang, Aqila kayak gini?" Bibi menggeleng dan membiarkan dia sendiri masuk ke kamar Aqila dengan senyuman yang masih terpatri di wajah cantik yang kini mulai terlihat ada kerutan. "Iya, Bi. Aqila memang pantas gini. Kayaknya kalau Aqila main sinetron di Indosiar cocok banget jadi orang tersakiti," ucapnya dengan decakan pada akhir kata.

"Bisa, tuh. Bibi bukan seneng liat Aqila kayak gini karena kamu pantes mendapatkan itu. Tapi, bibi senang karena sebentar lagi, kamu akan menemukan kebahagiaan yang kamu impikan dari dulu," ucapnya seraya mengusap pipi Aqila.

"Maksudnya? Itu nggak bakalan, Bibi. Semua yang Aqila impikan dari dulu, ya selamanya akan tetap mimpi nggak bakalan jadi kenyataan. Bibi kalau misal, cuma mau buat aku seneng, mendingan jangan, deh. Aku nggak mau nanti malahan sakit hati lagi," ucap Aqila sambil tersenyum.

"Lah, itu misal kamu putus sama Adnan aja nggak papa, kok," sela bibi bercanda. Aqila memanyunkan bibir kesal. "Itu beda, Nyai. Nggak gitu konsepnya, Bi," sahutnya.

"Ya udah, kamu ngapain dari tadi melamun gitu. Kayaknya, kalau mau dengerin musik nggak bakal gitu. Masih kepikiran tadi?" tanya bibi.

"Aqila nggak salah, kan? Aqila cuma minta hak Aqila. Kalau bibi kayak aku, apa bibi akan melakukan ini juga?" Aqila membiarkan Bi Ningsih masuk dan kemudian berjalan menuju dekat jendela, sesekali menghela napas. "Bertahun-tahun, Aqila disembunyikan dari orang tua kandung Aqila, itu sakit banget. Kenapa mamah sama papah tega lakukan ini sama Aqila. Kalaupun sayang, nggak mungkin dia perlakukan aku kayak gini," lanjutnya.

"Nak..."

"Bi, Aqila sudah besar. Sekarang, giliran Aqila minta mamah supaya temukan aku sama orang tua kandungku, mamah nggak bolehin Aqila ketemu. Tapi, sikap mereka sama Aqila selama ini itu menunjukan kalau mereka nggak sayang sama Aqila. Aku rasa, udah nggak dibutuhin lagi. Terus apa gunanya mereka nahan Aqila buat ketemu orang tua kadung Aqila?" tanya Aqila.

"Aqila, kamu memang benar harus kayak gitu. Mereka nggak ada hak melarang kamu buat ketemu orang tua kandung kamu. Bibi minta, pikirkan sekali lagi Aqila. Biarpun kamu nekat, tapi kamu juga udah lama tinggal sama mereka. Apa kamu nggak pernah berpikir positif kalau mereka udah menyayangi kamu? Bagaimana perasaan Mike, kalau tau kamu pergi?"

Perkataan itu sangat menohok hati Aqila. Bagaimanapun juga, Aqila sudah lama tinggal bersama mamah dan papah dengan semua cerita yang bermacam-macam. Aqila tidak memikirkan perasaan Mike, yang jelas menyayanginya. Bagi Mike, dia adalah segalanya. Teman main, cerita, dan masih banyak lagi. Aqila merasa bersalah memikirkan hal itu. Tapi untuk mamah dan papah, kenapa Bi Ningsih seyakin itu jika mereka sudah menyayangi Aqila?

"Iya, Bi. Tapi, kenapa bibi yakin banget kalau mamah papah sayang sama aku?"

"Waktu kamu bilang ingin bertemu sama orang tua kamu, mamah kamu menolak keras. Saat itu, kamu keburu masuk ke dalam, nggak dengerin mereka dulu, Aqila."

CONVENIENCE (Kenyamanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang